Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (2)

MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976), Hasan Tiro mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di Amerika Serikat (AS).

Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB (Minggu 31 Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan sebagai markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.

Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan untuk pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro. Panton Weng adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan sejak 100 tahun silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu mempertahankan harkat dan martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda. Orang-orang percaya di tempat itu "ada penjaganya" yaitu dua harimau.

Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Hasan Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke Panton Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang, sangat sulit memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik Umar di Tiro mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk menjemput Hasan Tiro dan membawanya pulang ke Tiro.

Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di bagian depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro. Sedangkan di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan yang penuh belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak bila suatu saat musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di kawasan Tiro. Itu merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk membuktikan kekuatan fisiknya.

Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke kawasan Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan Hasan Tiro saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh. Untung Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro sehingga tidak jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya masa-masa indah ia berjalan di Fifth Avenue, New York. "Apa yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri. Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba di kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi missinya. Di sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak tokoh masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur menemuinya. Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan. Tangannya dicium ketika berjabat.

Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment historis menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro --pemimpin terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran sengit di Alue Bhot, Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah diumumkan kepada dunia. Hasan Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di hutan.

PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga diumumkan pada hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri tertunda sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada wakil datang dari luar Aceh.

Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp yang banyak tersebar di hutan.

Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi Hasan Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa Blang Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih. Hasan Tiro memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat lengang. Geutjhik Uma hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Sesuatu telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung tentara.

"Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!" perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat terkejut karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.

"Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam rumah!" terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak dan istri saya. Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.

Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar lebih dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan tidak diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu belakang sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin seorang musuh berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak tangan saya! Dia menembak tangan saya! Toloong...!!"

Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam untuk mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui dengan menghilangkan jejak dari para pengejarnya.

Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan pengawalnya sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu yang cidera, tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan adalah tindakan benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro kepada anak buah yang selalu setia mengawalnya.

Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat. Bahkan, ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara tentara dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank. "Rumor menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan Tiro dalam catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro dipindahkan ke tempat lain lagi.

Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka sebagai "teroris, bandit, fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks proklamasi dalam bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh Aceh dan bahkan ke luar negeri.

Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat Aceh selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan kekalahan Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.


Mendirikan Universitas Aceh

AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.

NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya yang tak selesai ini tidak merasa kecewa.

Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar Anang kembali ke daerahnya.

Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto pemimpin gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi, Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977 merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan, atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.

Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan untuk mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon (Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula rektor pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50 "mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung. Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional, Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.

Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal "Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem ekonomi.

Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional, Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan membahas tentang tugas-tugas.

Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan tidak sama seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS.

(Bersambung)

0 komentar :

Posting Komentar