Tragedi Cot Pulot Jeumpa Februari 1955

SAYA punya keyakinan, orang-orang tua di Cot Pulot Jeumpa Aceh Besar tidak bisa melupakan tragedi Cot Pulot, Jeumpa dan Leupeung yang terjadi 56 tahun. Tragedi terbesar pada masa orde lama ini diawali dari bentakan militer Indonesia yang menyeret warga berdiri berjejer di pantai.

Dalam amuk kemarahan yang membara-bara, prajurit TNI mengiring anak-anak, pemuda dan orangtua ke pantai Samudera Indonesia. Mereka diperintahkan menghadap lautan lepas. Beberapa detik kemudian, tanpa ampun, moncong senjata otomatis memuntahkan ratusan peluru. Puluhan tubuh pria tewas membasahi pasir. Dalam sejarah kelam, fakta ini dikenal dengan peristiwa Cot Pulot Jeumpa di Gampông Cot Pulot dan Gampông Jeumpa Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar pada Februari 1955.

Insiden yang meluluhlantakan nilai-nilai kemanusiaan diawali dari sehari sebelumnya sebuah truk militer membawa berdrum-drum minyak dan 16 tentara melintasi Cot Pulot. Mendekat jembatan Krueng Raba Leupung, tentara Darul Islam yang dipimpin oleh Pawang Leman menghadang. Pawang Leman adalah mantan camat setempat yang pada zaman revolusi Indonesia berpangkat mayor.

Tembakan beruntun menyebabkan truk terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib berguguran dijilat kobaran api. Tentara Darul Islam menyebut pasukan Republik Indonesia dengan Tentara Pancasila. Esoknya, satu peleton (berkekuatan 20-40) Tentara Republik merazia pelaku. Razia dari rumah ke rumah tidak membawa hasil. Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun. Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala. Akibatnya 99 jiwa meregang nyawa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam. Indonesia menutup rapat-rapat pembantai warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara.

Koran Peristiwa

Suasana kekalutan itu semakin gempar dengan pemberitaan surat kabar Peristiwa pada awal Maret 1955. Isi koran yang terbit di Kutaradja ini dikutip oleh berbagai media ibu kota di Jakarta dan internasional. Peristiwa memuatnya dengan judul enam kolom di halaman pertama. Disebutkan pada tanggal 26 Februari 1955 kira-kria jam 12 siang WSu (Waktu Sumatera) sepasukan alat-alat negara menangkap seluruh lelaki penduduk Cot Jeumpa yang didapati di rumah. Mereka dikumpulkan di pinggir laut. Lalu tanpa periksa, seluruh pria itu ditembak hingga semua rebah bermandikan darah.

Peristiwa mewartakan pada tanggal 28 Februari 1955, kira-kira jam 12 siang WSu, orang berpakain seragam menembak mati 64 warga Leupung. Mereka ditangkap di rumah, sedang melempar jala, memancing dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan di pinggir laut. Peristiwa memberitakan, mayat-mayat yang bergelimpangan itu dikuburkan dalam dua lubang besar. Peristiwa memuat nama korban lengkap dengan umur dan tempat tinggal

Tentu militer Indonesia menolak publikasi Peristiwa. Komandan Tentara Teritorium I Bukit Barisan Pada tanggal 10 Maret 1955 memberi penjelasan kejadian sebagai berikut. Pada tanggal 22 Februari 1955 sepasukan tentara yang ditempatkan di Lhong berangkat pagi-pagi jam 06.30 WSu, 16 tentara dari Peleton 32 Batalyon 142 menuju Kompi II di Lhok Nga untuk mengambil bahan makanan dan bensin. Pada sorenya satu satu truk membawa perbekalan dan bensin menuju Lhoong.

Ibarat membungkus bangkai, pasti tercium bau. Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa. Koran yang terbit di Jalan Merduati No. 98 Kutaradja menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan itu. Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Acha tidak kehilangan akal dengan menyewa boat nelayan. Tugas jurnalistik ditunaikan dengan baik. Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”. Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Tak ayal, berita ini dikutip oleh beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya. kemudian dikutip oleh media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang. Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Berdasarkan pemberitaan Peristiwa yang dirintis pada awal tahun 1954, Hasan Tiro yang tinggal di New York Amerika Serikat mengetahui sepak terjang Indonesia. Diplomat cerdas ini menilai eksekusi massa itu adalah genosida. Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 semakin yakin, Aceh yang diibaratkan sebagai bagian dari puluhan kamar yang berteduh dalam rumah bernama Indonesia sudah waktunya dipertanyakan.

Berhasilkah Hasan Tiro menempatkan kasus Cot Jeumpa, Pulot dan Leupeung dalam agenda PBB? Beberapa surat kabar terbitan Medan Sumatera Utara seperti Lembaga, Tangkas, dan Warta Berita menulis kasus yang dilapor oleh Hasan Tiro tertera dalam agenda PBB. “Bila kemudian tak dibicarakan di PBB itu lain soal. Kejadian di Aceh itu sudah jadi perhatian internasional,” tulis Zakaria M. Passe di Majalah Tempo edisi 24 Oktober 1987.

Kekerasan oleh negara pada tahun 1955 terulang lagi di Aceh pada era reformasi seperti pembantaian di Beutong Ateueh, Simpang KKA, Bumi Flora dan lain-lain. Pembantaian demi pembantaian menjadi pelajaran agar hal-hal ini mesti dicegah dengan membangun konstruksi komunikasi. Tidak ada manusia yang bisa mencegah gempa bumi dan tsunami. Namun sebaliknya, masyarakat bisa mencegah konflik bersenjata.

Pada dimensi lain, peran media seperti yang dilakukan oleh Pak Acha melalui koran Peristiwa dalam merawat ingatan generasi muda masa kini dan depan tetap mendapat porsi tersendiri. Korban kekerasan tidak bisa melupakan masa-masa pahit yang dialaminya. Korban kekerasan berpeluang untuk memaafkan masa lalu sambil mencoba berdamai dengan masa kini untuk merajut masa depan. Sedangkan bagi masyarakat, masa lalu adalah cermin untuk tidak mengulangi kesalahan lalu. Jika masa lalu diibaratkan seperti spion roda empat yang berukuran kecil dan diletakan di sisi kiri dan kanan serta dilirik sejenak saja, maka kaca depan kendaraan adalah masa kini dan masa depan yang mesti ditatap serius.

Penulis :
Murizal Hamzah
Penulis adalah editor Buku Biografi Wakapolri Jusuf Manggabarani, “Cahaya Bhayangkara”.

Jejak Aceh di Tanah Arab

”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.


Penulis M. Adli Abdullah (*
Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.

Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).



Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.
Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkahmenyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.




Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.

Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
  • Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi',
  • Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah,
  • Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
  • Wakaf Muhammad Abid Asyi,
  • Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
  • Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
  • Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
  • Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
  • Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
  • Rumah Wakaf di Taif,
  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
  • Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
  • Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
  • Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
  • Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
  • Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.

Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).
Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.


Mekkah Tempo Dulu

Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia.
Penulis adalah sejarawan dan pemerhati sejarah Aceh

Sumbernya

Hubungan Bugis Dengan Aceh Dalam Catatan Sejarah

HUBUNGAN BUGIS DENGAN ACEH DALAM CATATAN SEJARAH
OLEH : IRINI DEWI WANTI, SS., MSP
DIPOSTING OLEH MAWARDI HASAN DI ACEHNET 3 JULI 2011
DIPOSTING KEMBALI OLEH TEUKU YUNANSYAH 1 SEPT 2011


I.Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat pers...inggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.

Kondisi ini memungkinkan adanya pembauran antara berbagai suku bangsa dalam satu daerah. Contohnya di Aceh hingga saat ini ada masyarakat di daerah Pidie melihat dari profilnya mirip dengan orang Tamil di India, sedangkan di Lamno ada masyarakat dengan warna mata biru mereka awalnya adalah komunitas sendiri keturunan Portugis. Begitu juga dengan Cina dan Arab juga bagian dari prototype orang Aceh.

II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
Selanjutnya siapakah masyarakat Bugis yang ada di Aceh dan bagaimana keberadaannya di daerah itu ? Historiografi tradisional yang pernah berkembang di Aceh menyebutkan silsilah Sultan Aceh keturunan Bugis diawali dengan kisah seorang yang bernama Daeng Mansyur dari Wajo (kini salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan). Ia seorang anak raja yang terdampar di perairan Pidie (Kini Kabupaten Pidie di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Disisi lain kita akan bercerita tentang sebuah kampung (Aceh: Gampong) yang bernama Reubee ( kini di Kecamatan Delima di Kabupaten Pidie). Di kampung ini terkenal Dayah yang dipimpin oleh ulama bergelar Teungku Chik di Reubeë. Daeng Mansyur menikah dengan seorang puteri anak Teungku Chik di Reubee tersebut dan dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan yaitu Putroë Suni dan anak laki-laki bernama Zainal Abidin.

Dalam catatan sejarah, masyarakat turunan Bugis yang ada di Aceh tidak terlepas dari sejarah Sultan Iskandar Muda. Awal dari sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Iskandar Muda dengan Putroë Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku Chik Di Reubee). Putroë Suni ketika dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda sedangkan Zainal Abidin hijrah ke Aceh Besar selanjutnya terkenal dengan nama Teungku di Lhong dan ia mempunyai putra bernama Abdurrahim Maharajalela.[2]
Penulis Belanda juga menyebutkan tentang asal usul masyarakat Bugis yang ada di Aceh dengan menyebutkan adanya tiga orang ulama di Pidie berasal dari Sulawesi Selatan yaitu Teungku Seundri (sebenarnya adalah Sidendreng dalam logat Aceh disebut Seundri), Teungku Sigeuli yang namanya akhirnya diabadikan menjadi nama Kota Sigli, dan Daeng Mansur dari Wajo.[3] Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1590 pada masa pemerintahan Sultan Saidilmukamil (1588-1604). Sebelum Sultan Saidilmukamil kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Riayat Syah atau Raja Buyung (± 1586-1588). Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh Darussalam dengan sangat bijak sehingga kerajaan Aceh mencapai masa gemilang. Perkawinannya dengan Putroe Suni dikaruniai seorang anak perempuan bernama Safiatuddin Syah. Safiatuddin menikah dengan Iskandar Thani berasal dari Pahang. Maka inilah awal dari adanya pemerintahan Sultanah dan Sultan keturunan Aceh-Bugis di Kerajaan Aceh Darussalam.

III. Kepemimpinan Para Sultanah dan Sultan Sultanah
a. Sultanah


P.J. Veth seorang Profesor Etnologi dan Geografi di Universitas Leiden Belanda menulis sebuah karangan berjudul “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” (= Pemerintahan Wanita di Kepulauan Nusantara). Satu hal yang menarik menurut Veth adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (sultanah) secara berturut-turut dari tahun 1641-1699 M.[4] Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, menantunya Iskandar Thani (suami Safiatuddin Syah) dinobatkan menjadi Sultan. Namun, pada tahun kelima kepemimpinannya (1641) baginda mangkat dan belum dikarunia seorang anak. Selanjutnya Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin kerajaaan Aceh (1641-1675). Menjelang penobatannya timbul pertentangan di kalangan pembesar di Aceh. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah wanita pertama.

Sultanah Safiatuddin memerintah selama sekitar hampir 35 tahun (1641-1675). Pemerintahan yang begitu lama tentulah dengan segala kebijaksanaan dan kemampuan yang dimiliki seorang wanita Aceh-Bugis. Sebaliknya selama pemerintahnya Sultanah terus menerus dirongrong oleh para tokoh kalangan istana yang tetap tidak setuju akan kepemimpinan seorang wanita. Namun, kenyataanya setelah Sultanah Safiatuddin mangkat kepemimpinan jatuh lagi ke tangan wanita yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678). Pada masa kepemimpinan pemerintahan Sultanah Safiatuddin kehidupan kerajaan yang paling menonjol terlihat pada kemajuan di bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah terjadi perubahan di bidang struktur administrasi pemerintahan yaitu di luar daerah yang langsung diperintah oleh Sultanah, daerah Aceh Besar dibagi dalam daerah besar yaitu 3 bagian daerah besar yang sedikit banyaknya menyerupai segi tiga di sekeliling daerah yang langsung diperintah oleh Sultanah dan karenanya dinamakan Sagi (Aceh Sagoe).
Sehubungan dengan jumlah mesjid-mesjid yang terdapat di dalam daerah tersebut, maka bagian-bagian itu dinamakan Sagi XXII, XXV dan XXVI para kepalanya dikenal dengan nama Panglima Tiga Sagi. Pada awalnya pengangkatan para Panglima Tiga Sagi itu bukan dimaksudkan supaya mereka melakukan pemerintahan sendiri-sendiri terhadap sesuatu negeri, tetapi lebih banyak untuk melakukan tugas pengawasan perintah-perintah pemerintah pusat yang disampaikan kepada para Uleebalang telah dijalankan sebagaimana mestinya. Selain itu para kepala Sagi dapat bertindak sebagai panglima pada masa terjadi peperangan seperti diartikan degan perkataan panglima itu.[5]

Kepemimpinan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah hanya berlangsung sekitar 3 tahun karena mangkat dan digantikan oleh Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688). Selama kepemimpinan para Sultanah ini kerajaan Aceh mulai memudar kharismanya disebabkan pergolakan politik pro dan kontra terhadap kepemimpinan wanita. Terakhir Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah bertahta pada tahun 1688-1699. Pro dan kontra terhadap kepemimpinan wanita akhirnya melengserkan Sultanah Kamalayat Syah. Kepemimpinan beralih kembali kepada pria dengan diangkatnya Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin menjadi Sultan. Mulai saat itu pemerintahan dipimpin oleh Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702) yang juga anggota adalah seorang perutusan Mekkah. Setelah tiga tahun memerintah, baginda disuruh turun dari tahtanya oleh rakyat. Setelah peristiwa tersebut empat sultan keturunan Arab lainnya diangkat sebagai Sultan Aceh hingga tahun 1726 yaitu :
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703), keponakan Sultanah Kamalat Syah. Pada bulan Juni 1703 baginda didepak dari tahta oleh Jamalul Alam Badrul Munir.
Sultan Jamalul Alam Badrul Munir putra Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Pada bulan Agustus 1703 Jamalul Alam Badrul Munir baru mendapatkan pengakuan sebagai Sultan sehingga berkuasa mulai 1703-1726. Di bawah pemerintahannya daerah Batubara (kini di Provinsi Sumatra Utara) memisahkan diri dan baginda dipaksa lari oleh pemberontakan umum pada tahun 1726.
Sultan Johar Alam Amaddin Syah (1726) mangkat setelah 20 hari menjadi sultan.
Sultan Syamsul Alam (Wan di Tebing) kemenakan Jamalul Alam Badrul Munir, beberapa minggu setelah dinobatkan diturunkan kembali pada akhir Desember 1726.
Pada bulan Juni 1727 dengan suara bulat ketiga Panglima Sagi memilih Maharajalela Melayu menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735) putra Abdurrahim Maharajalela Bin Zainal Abidin (Teungku di Lhong) bin Daeng Mansur juga yang bergelar Teungku Chik Di Reubee mertua Sultan Iskandar Muda.Dengan demikian pemerintahan di Aceh kembali dipangku oleh Sultan berdarah Aceh-Bugis.

b. Sultan

Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735)hingga Sultan Alaiddin Johan Syah (1735-1760) selalu dihadapkan pada pertentangan yang dilancarkan oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang ingin berkuasa kembali. Namun, kedua Sultan yang hidup pada masa yang berbeda memiliki visi yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan diantaranya mereka dapat membuka hubungan perdagangan dengan Inggris dan Perancis tanpa memberi izin kepada mereka membuka benteng.[6] Sultan Alaiddin Johan Syah (Pocut Uek) digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1781). Salah satu keberhasilannya adalah kenegerian Barus kembali kepangkuan Aceh pada tahun 1778 yang sebelumnya diduduki oleh Belanda. Sultan Aleidin Mahmudsyah berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaiddin Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Aleidin Alam Syah (1795-1824), Sultan Muhammad Syah pada 1824-1836, masa-masa ini adalah semakin gencarnya infiltrasi Barat (Inggris) ke Pulau Sumatra. Sultan Muhammad diganti oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870) masa pemerintahan beliau satu persatu daerah kekuasaan Aceh di luar Pulau Sumatra jatuh ke tangan Belanda diantaranya Barus dan Nias. Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874). Pada tahun 1873 pecahlah perang Belanda di Aceh yang dimulai dengan Agresi Militer Belanda I. Inilah awal perang yang memunculkan keheroikan masyarakat Aceh. Agresi Belanda terhadap Aceh adalah awal kesengsaraan hingga pupusnya kesultanan Aceh. Akibat perang yang memakan waktu lebih 40 tahun menghancurkan bukan saja dalam bentuk fisk berupa lambang-lambang kerajaan seperti istana (Dalam), mesjid raya tetapi juga dengan pengasingan Sultan yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Daud Syah.

IV. Penutup

Satu kenyataan bahwa hubungan Aceh dan Bugis diikat oleh benang merah yang mempersatukan keduanya akibat perkawinan kaum bangsawan hingga melahirkan para sultanah dan sultan Aceh keturunan Bugis yang pernah bertahta di Kerajaan Aceh khususnya dimulai dari Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727) hingga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1903).

Sultan terakhir tertawan oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon pada tahun 1907, kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta) hingga mangkat pada bulan Februari 1939 dan makamnya dewasa ini berada di Rawamangun Jakarta.

Akhirnya dari tulisan ini jelaslah pada kita bahwa Negara kita yang diikat dalam NKRI memang bagian yang tidak terpisahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di kepulauan nusantara ini yang memiliki simpul-simpul sejarah. Bila dikaji memang seharusnya kita tidak boleh terpisahkan. Kita dipersatukan oleh sejarah, dipersatukan oleh ikatan darah antar satu suku dengan suku lainnya.

 

CATATAN KAKI

[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,

SUEUË DAN DJEUNAWEUËB ATJÈH MEURDÉHKA

SUEUË DAN DJEUNAWEUËB ATJÈH MEURDÉHKA
 Dec 24, '07 2:02 AM

1. S: Peuë peureulèë geutanjoë meurdèhka? Atawa Pakon Atjèh peureulèë meurdéhka?
Dj: Q: 49:13: ” Hai manusia! Keubit Kamoë(Allah) mencipta awak droëkeuh nibak sidroë agam dan sidroë inong. Wak Dan Kamoë (Allah) peudjeuët awak droëkeuh meubansa-bansa, meu-sukèë-sukèë, supaja awak droëkeuh djeuët ka meuturi-turi (silaturrahmi)…”

Meurdéhka nakeuh fitrah Tuhan keu geutanjoë manusia supaja bibeuëh geutanjoë bak ta peubuët buët. Njang peunténg that nakeuh buët ’ibadah keu Po teuh Allah. Supaja geutanjoë ta peubibeuëh droë teuh nibak lamiët keu manusia dan mangat djeuët tapeulamiët droëteuh keu Allah simat-mata njang Po geutanjoë, njang peudjeuët geutanjoë. Supaja bèk na soë tham dan keumah ta atô schema siuroë-uroë (daily scheme) pakriban njang sesuai deungon kehendak dan kemampuan geutanjoë maséng-maséng.

Njang keubiët buët meurdéhka nakeuh saboh hak njang musti ta tuntut sibagoë geutanjoë manusia njang na akai. Geutanjoë manusia ka neupeutrén u bumoë sibagoë khalifah, peumimpin diateuëh bumoë njoë, untuk atô, ngui dan padjôh peuë njang ka geuseudia uléh Po teuh Allah. Dan singoh di jaumil mahsjar bandum geutanjoë akan geusu-euë, keu hai tanggông djaweuëb geutanjoë silaku manusia, akan keupeumimpinan geutanjoë, keu hai tingkah laku droëteuh keudroë, keu tanggông djaweuëb geutanjoë ateuëh keuluarga droëteuh, aneuk dan Po rumoh teuh, tanggông djaweuëb geutanjoë keu ureuëng tjhik teuh. Tanggông djaweuëb geutanjoë sibagoë peumimpin masjarakat, hai-hai njang ka geupeutugaih dalam fardhu ’ain, fardhu kifajah bandum akan geupeusu-uë dan geupeusaksi bak angèëta badan geutanjoë, bak lat batat, kajèë batèë pat njang taduëk, pat njang tadong, han keumah ta meu-ungki sapeuë.

Untuk djeuet tatjok tanggông djaweuëb njoë maka geutanjoë peureulèë meurdèhka dirumoh droëteuh, di gampông droëteuh, di nanggroë droëteuh. Meungnjo hana rumoh droëteuh pakriban geutanjoë na keumeurdéhkaan dirumoh gob? Taduëk dirumoh gob, musti ta ikôt peraturan dirumoh bak taduëk njan. Meunantjit meungnjo kon nanggroë droëteuh pakriban djeuët ta meu-atô lagèë ta meuhadjat keudroëteuh meunurôt peraturan lagèë geutanjoë peureulèë, lagèë geutanjoë meuhadjat.

Geutanjoë Atjèh ka neuteukeudi uléh Po teuh Allah sibagoë saboh bansa sigohlom ”Republik Indonesia” njan teudong. Mantong fresh lam ulèë geutanjoë pakriban abutjhik dan nèk geutanjoë mantong hana geutu’oh marit basa Indonosia njan sabab kon basa ma-ku geuh. Njan basa aséng keu droë-droëneuh njan. Sibagoë bansa Atjèh geutanjoë ka neuteukeudi uléh Allah na tjiri-tjiri droëteuh. Na identity droëteuh sibagoë bansa Atjèh njang hana saban deungon bansa laén dalam dônja. Geutanjoë na basa droëteuh basa Atjèh. Tjara teumuléh droëteuh, teumuléh Atjèh. Kultur droëteuh, adat istiadat Atjèh. dst. Untuk identity geutanjoë Atjèh njan geutanjoë na tjara hudép droëteuh njang sesuai deungon selera droëteuh bak ta mengabdi keu Po teuh Allah. Tjara hudép Atjèh njang ka geusimpulkan uléh éndatu geutanjoë sitjara singkat dalam”adat bak Po teumeureuhôm hukôm bak Tengku Sjiah Ulama” njan ka mentjakup dalam way of life geutanjoë Atjèh njakni tjara hudép geutanjoë Atjèh njang uléh endatu geutanjoë ka geupeuseusuai deungon Sjariat Islam njang kageuteurimong nibak Panghulèë geutanjoë Rasulullah Muhammad s.aw, trén teumurôn meutaloë-taloë trôih ’an bak geutanjoë djinoë.

Adat bak Po teumeureuhom Hukôm bak Tengku Sjiah Ulama njoë hana saban deungon Pantja Sila atawa U.U.D 1945 Negara Republik Indonesia. Kon hana saban mantong tapi le njang melawan deungon adat istiadat geutanjoë Atjèh. Antara laén njang ubit-ubit mantong. Geutanjoë Atjèh ka djeulaih han djeuët tapeusjarikat tuhan deungon meunumat njang laén lagèë Pantjasila atawa peuë mantong. ”La ilaha illallah, wahdahu la sjarikalah. Innassjirka ladhulmun ’adhim”.

Peuë njang ka djipeulaku lé TNI djinoë di Atjèh ka djipeurusak kultur Atjèh keubit-keubit sehingga ka le that lahé aneuk badjeuëng, buët-buët hareuëm meradjalela. Arak, djudi, fitnah, poh gob deungon hana hukôm, tjok atra gob, korrupsi, njan hana djeuët keu ’aéb lé. Aneuk jatim, inong balèë, ureuëng gasiën hana soë pakoë lé. Ulama djingui untuk peuteubiët fatwa njang seusuai deungon kehendak pemerintah di Djakarta didjak puta-putië ajat Quran. Hana hireuën geutanjoë meungnjo Tuhan neupeutrén matjam-matjam bala keu geutanjoë Atjèh. Do’a sjuhada-sjuhada Atjèh njang ka geupeutheun nanggroë Atjèh sibagoë seuramoë Mekkah, ka dji ubah meunurôt selera dan tjara hudép awak njang Po peurintah djéh pat di Djakareuta..

Kesimpulan djih geutanjoë Atjèh handjeuët ta hudép deungon tjara laén , silaén menurut deungon tjara hudép droëteuh, ”way of life” Atjèh. Njang ka djeuet keu identity geutanjoë. Dan untuk njan musti geutanjoë meurdéhka. Dong keudroë sibagoë saboh bangsa lagèë meunan njang ka neuteukeudi uléh Po teuh Allah keu geutanjoë Atjèh.

2. S: Puë hansép geutanjoë meurdéhka deungon ka bibeuëh geutanjoë djeuët ta keuridja, djeuët ta peugot rumoh dan ta peubuët ibadah lagèë djinoë dinanggroë Republik Indonesia?

Dj: Meunjoe geutanjoë hana nanggroë droëteuh, nanggroë Atjèh dan bibeuëh geutanjoë bak tapeubuët ibadah keu Po teuh Allah, maka taduëk dimijub peumeurintah NKRI njan leubèh kureuëng saban lagèë taduëk diluwa nanggroë, dinanggroë gob.peuëkeuh di Europa, dll.

Meutapi geutanjoë na nanggroë droëteuh, na tanoh ië Atjéh njang ka neuteukeudi uléh Po teuh Allah keu geutanjoë bansa Atjèh. Ka geupeutheun uléh Endatu geutanjoë deungon darah dan djawong geuh keu geutanjoë aneuk tjutjo geuh. Maka njan kadjeuët keu tanggông djaweuëb geutanjoë njang aneuk tjutjo untuk ta djaga dan ta peutrôih nanggroë Atjèh njan keu aneuk tjutjo geutanjoë, handjeuët tapeubijeuë meunan mantong ditjok lé gob lé bansa luwa njang teuka djéh pat diblahdéh laôt di Djakarta.. Penanggông djeunaweuëb njan singoh akan geutanjong uléh Endatu bak geutanjoë melalui Po teuh Allah. Pakon geutanjoë ta sia-sia pengorbanan Endatu geutanjoë njang ka meureutôih ribèë kadang djuta njang ka geupeutheun nanggroë Atjèh njoë nibak ditjok lé Beulanda dan Djeupang; djinoë bulat-bulat tadjôk keu NKRI?

Hadist: ” Djaga nanggroë si uroë saban pahala djih deungon bumoë dan asoë djih bandum.”
3. S: Hai Tengku! Teuma geutanjoë Atjèh djinoë leumoih that. Han ék tamuprang lé ngon ta lawan musôh teuka, meung ta peutheun droë teuh hana kuasa. Kamoë rakjat tjukôp that djra ka. Bah ta teurimong mantong peuë njang ka na njoë handjeuët?

Dj: Paham lagèë njoë geubôh nan faham ”Pacifism” mumakna ”Dumpeuë djeuët asai bèk karu”. Meungnjo ramè ureuëng njang seumiké lagèë njan maka akan hana lé keuteunangan dalam dônja. Perampokan, penzinaan, pembunuhan akan meradjalela, sabab hana soë djeuët tham lé. Akan berlaku hukum rimba didalam masjarakat dônja. Hana lé ureuëng njang djeuët tém maté bak peutheun hak. Marwah manusia akan gadoh. Hana lé ureuëng njang djeuët ta mat su, njang djeuët ta peutjaja. Bandum teumakôt sabab leumoh, sabab sidroë, hana sinjata. Watèë njoë keuh kadang djibeudoh djut madjud, dadjeuë buta siblah. Aneuk badjeuëng rata sagoë. Na’uzubillah.

Meugisa keu sedjarah perdjuangan para nabi dan sahabat. Bandum Nabiullah neupeuphôn buët perdjuangan sidroëneuh melawan kedhaliman dan kebathilan didalam masjarakat. Sahabat-sahabat, para aulia njang neugaséh lé Po teuh Allah neualami matjam tjubaan, djihina, djitet lam apui, djiséksa lé kawôm geuh dan djilét dari nanggroë. Meunan takalon djameun nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa trôih bak nabi Muhammad saw. . Para Nabi dan sahabat hanja teumakôt keu Allah, hana teumakôt geuh keu peuë laén.( –al-ahzab : 39). Meungnjo geutanjoë ka tabri teumakôt teuh bandum keu Allah, panè lom na teumakôt keu makhluk Allah.

Hana neupeutrén peudeuëng dari langèt. Hana neukirém moto tank dari glé. Bandum kemenangan njang neuteumeung nakeuh deungon pengaturan, peng-organisasian dan tawaqqaltu ’alalAllah.
Sibeutôidjih geutanjoë Atjèh hana leumoh, hana talô. Salah geutanjoë bak hana ta tu’oh atô droë teuh. Hana tangui kutika. Hana ta tu’oh ngui ”masa”. Tuhan neumeusumpah dalam surat al-’asr. Njang meukeusud djih: ” Demi masa! Keubit manusia njan na dalam rugoë. Ketjuali, ureuëng- ureueng njang meu-iman, njang peubuët amai salèh, ureueng njang bri nasihat untuk peudong Hak(njang beuna) dan ureuëng njang bri nasihat supaja sabar(tabah dan saba ateuëh tjubaan Tuhan).” Bandum peuët peukara njang peu-untông geutanjoë ka geutinggai dan hana lé geu-amai lé ureuëng Atjèh. Sibalékdjih nibak ta nasihat menasihati deungon djroh, ka gadôh ta meu-upat dan meufitnah sabé keudroë-droë teuh. Ureuëng njang tém bri nasihat keu geutanjoë ta tjarôt djih, ta seuëb djih. Ureuëng njang dong ateuëh kebenaran dan geubila njang haq ta fitnah dan ta poh maté. Ta rasa treuk pakriban bala Tuhan ateuëh geutanjoë. Njan barô batjut tabandéng deungon azeuëb Tuhan njang that-that peudéh. Na’uzubillah.

Sibeutôi djih geutanjoë Atjèh ka meurdéhka ka padum-padum go. Phôn watèë Djeupang ka talô; Atjèh ka hana soë djadjah lé dan geutanjoë ka meurdéhka tinggai tapeunjata droëteuh, ta tarék bandira droëteuh dan ta atô peumeurintahan droëteuh.

Kesempatan kedua watèë DI-TII thôn 1953-1960 bak watèë njan defacto ban saboh Atjèh ka na lam kekuasaan tantra DI. Tantra DI geumeu-èn digampông. TNI hana kontroll ateueh gampông hanja dikuta-kuta mantong. Tapi geutanjoë buta politik, buët didalam nanggroë hana meusambông uluwa.

Kesempatan keulhèë 1998, watèë demonstrassi massal dikeuë mesdjid raja Banda Atjèh. Watèë njan TNI hana djie teupeuë peugot sapeuë lé, ka gameum djih. Tinggai tjok beudé bak djaroë ta bagi keu rakjat.. GAM hana geutu’oh ngui keuseumpatan njan, geupeugah njan buët aneuk miët. Hana geutu’oh pham bahwa tudjuan referendum njan meurdèhka tjit. Ka tadeungo su-su deumpék rakjat ”meurdéhka” rata sagoë.

Keuseuneulheuëh watèë perundingan di Helsinki. Indonesia ka djitém beurundéng kon sabab djih ka meunang , meutapi meusabab djih hana djitu’oh peugot sakri lé keu Atjèh. Ka le that biaja djih habéh bak djiprang Atjèh. Rakjat Atjèh kon meutamah teumakôt keu djih, meutapi makén lhôk bantji keu RI dan meutamah dendam keu TNI . Awak njan ka meuseupét, ka le that habéh pèng djih bak djiprang geutanjoë Atjèh, Papua dan Timor; ka bangkrôt djih, makadjih djitém duëk beurundéng. Panè djitém duëk beurundéng meungnjo djih meunang, meungnjo djih teuga kon ka djipeuhabéh geutanjoë bandum. Seumangat meurdéhka han keumah djiplén lé RI. Droë teuh keudroë ureuëng Atjèh njang hana muphôm akan kekuatan droëteuh. Hana ta turi lé soë ngon dan toh musôh teuh. Hana taturi lé soë droëteuh hingga ka tadjak peugah droëteuh ureuëng Indonesia. Katadjak boih Endatu Atjèh katadjak seutot Endatu Indonesia. Ka tapeutuwo keu bandira Atjèh tadjak tabék bandira mirah putih. Ka tapeutuwo teumuléh deungon basa Atjèh , dan ka malèë ta marit basa Ma-Ku teuh, basa Atjèh ka tapeumè-ung droëteuh tadjak marit basa gob, basa Indonosia dan bangga teuh bak tapeudjawa-djawa dialèk geutanjoë Atjèh. Njoëkeuh puntja nibak geutanjoë gadoh marwah, gadoh nanggroë dan rhet keu bansa lamiët dan djipeulamiët lé gob.

4. S: Peuë han keumah geutanjoë ta bangun Atjèh bak watèë njoë? Teungoh aman dan na beunantu dari pihak luwa.
Dj: Atjèh djinoë lagèë tulô lam reugam. Han keumah tadjak bri eumpeuën keu tulô njan meungnjo hana izin ureuëng Po reugam njan. Dan reugam njan djeuët djipeukong atawa djipeukeundô kri njang het djih. Ureuëng luwa didjak u Atjèh ateuëh undangan RI, kon djeuet didjak u Atjèh padjan njang ta peureulèë lé geutanjoë Atjèh. Meutapi padjan njang dikheun djeuet lé RI. Djadi beunantu u Atjèh njan musti meulalui RI. Pakon ulèë njang bantu Tsunami njan Djawa, peuë hana ureuëng Atjèh njang keumah duëk bak djabatan njan? Duuum...., ureueng Atjèh njang tjarong-tjarong. Tapi han djipeulheueh keu geutanjoë Atjèh.

5. S: Pakon awak droëneuh hana rôh dalam perundingan Helsinki? Peuë han neutém duëk sadjan GAM?

Dj: Kamoë han djipeurôh uléh GAM.MZ(Malék-Zaini). Ureuëng njang rôh dalam perundingan Helsinki nakeuh ureueng njang djitunjok lé GAM Malék-Zaini, kon ureuëng njang djipiléh lé rakjat . Dan handjeuët beurangkasoë njang djibri hadhé dalam rapat Helsinki njan. Kalheuëh kamoë tjuba kirém delegasi kamoë bak rapat civil society Atjèh di Malaysia, meutapi djitulak, han djibri tamong u dalam rapat masjarakat Atjèh di Kuala Lumpur.

6. S: Kamoë deungo awak droëneuh awak MP tukang peukatjho dan pengkhianat perdjuangan?

Dj: Tjuba tanjong bak ureueng njang peugah njan soë njang djak mumat djaroë dan meuwa-wa deungon RI? Soë njang tèkèn peuduëk Atjèh dimijub NKRI, awak MP peuë awak MP atau awak GAM MZ? Buët peuduëk Atjèh dimijub NKRI njoë melawan that deungon proklamasi Atjèh Meurdéhka, 4 dec, 1976, dpl. Buët awak GAM yang dipimpin uléh Malek Mahmud dalam perundingan dengan RI di Helsinki nakeuh mengkhianati perdjuangan Atjèh Merdéhka.

Njang neupeugah kamoë awak MP njan hana beutôi. Njang beutôi nakeuh kamoë njoë awak Atjèh Meurdéhka. Kamoë meudong tjet ateuëh hak keumeurdéhkaan Atjèh sibagoë saboh bangsa njang na hak bak peuteuntèë nasib droë-keudroë sibagoë bangsa-bangsa njang meurdéhka dalam dônja. Kamoë seutia keu Proklamasi Atjèh meurdéhka njang ka geupeunjata uléh Tgk. Wali Neugara Tgk. Hasan di Tiro bak thôn 1976. dan meusambông perdjuangan Endatu bangsa Atjèh hingga Atjèh meurdéhka dan meudèëlat keulai lagèë djameun sigohlom 1873.

7. S: Meungnjo awak droëneuh keubit keuneuk berdjuang djak peumeurdéhka Atjèh, pakon han neuwoë keunoë u Atjèh mangat sama-sama ta ék u glé. Njoë droëneuh mangat neuduëk disinan diluwa nanggroë, kamoë njang theun tapak sipatu TNI .

Dj: Kamoë meudjak uluwa nanggroë rot glé Atjèh. Hana meungui passport tjap Garuda meudjak u Iërupa u Canada atawa u USA.

Tjara berdjuang untuk peumeurdéhka Atjèh kon mantong deungon tjara ta ék u glé djak meugeurilla lagèë djameun. Meutapi dalam djameun modern njoë perdjuangan diluwa nanggroë meulalui geurilla kuta deungon tangui kemudahan media dan hubungan internasional njan pih hana kureuëng peunténg nibak geurilla glé. Malah sibalékdjih leubéh effective dan kureuëng korban djiwa dan mit biaja. Kon mumakna perdjuangan militè njan hana peureulèë, bèk salah pham.

Disampéng nibak njan kamoë pih kalheuëh meu-ék u glé . Kalheuëh meurasa deuëk meubuleuën-buleuën;kalheuëh meutheun aneuk beudé, kon tingkat djilét lé aneuk beudé mantong. Sibagian nibak kamoë kalheuëh meuduëk lam glap, kalheuëh meurasa djitrom lé TNI, djiseupot deungon tubuëng budé; ureuëng laén njang peubuët buët, kamoë njang djidrop dan dji-énanja. Njan bandum kadjeuët keu péasan perdjuangan. Han ék tapeubandéng deungon rakan-rakan njang ka geukeureubeuën djawong geuh. Njang peunténg beugi geutanjoë njang tinggai, ta sambông perdjuangan; hingga pengorbanan sjuhada geutanjoë njan hana sia-sia.

8. S: Peuë ukeuë njoë ka le neukubah budé? Got that sakét haté kuh. Kupubloë Honda kèë kudjak bloê budé. Djinoë kadidjak koh-koh budé kèë njan. Neubri laén sikrèk njang raja keu kèë, mangat kutimbak bak ulèë ma djih bôh seupah.

Dj: Lagèë djeunaweuëb leummôi tudjôh. Perdjuangan keumeurdehkaan Atjèh njoë kon hanja deungon beudé. Perdjuangan deungon kalam pih keumah peugok-gok dônja. Asai ta tu’oh dan keunong bak sasaran. Djadi bèk salah pham bahwa meungnjo hana ta keubah beudé lom maka han keumah berdjuang. Tjara berdjuang ukeuë njoë beuleubèh halôih dan beuleubèh rapi. Peuë lom perdjuangan militer njan mudah that peurhet geutanjoë dalam perangkap terroris. Makadjih beu hati-hati that . Bèk peusak h'op!

9. S: Peuë njang peureulèë kamoë peugot djinoë? Peuë buët keu kamoë teurutama kamoë muda?

Dj: Susôn baréhsan dan peugot network internasional teurutama deungon sjèëdara-sjèëdara saboh gampong, sibangsa dan si agama. Kemudian deungon rakan-rakan musôh nibak RI; lagèë awak Papua, Maluku, dan Sulawesi, dan musôh-musôh RI. Musôh nibak musôh geutanjoë nakeuh rakan geutanjoë. Kemudian deungon NGO, Media, dan bangsa-bangsa dalam dônja terutama ummat Islam dalam dônja. Tugaih geutanjoë nakeuh peujakin ummat dalam dônja akan kebenaran dan hak geutanjoë Atjèh bak teupeuteuntèë nasib droë keudroë (self determination) sibagoë saboh bangsa ateuëh rhuëng dônja. Karena buët perdjuangan njoë nakeuh buët masjarakat njang meulibat ramè ureuëng maka peureulèë geutanjoë ta susôn saboh organisasi njang meu-atô. Na peumimpin, na peungikôt. Na soë njang bri peurintah dan na soë njang peudjalan peurintah. Njang tuha ta hôreumat ateuëh pengalaman dan pengorbanan droëneuhnjan njang leubèh awai. Njang muda tasajang dan tabimbing, tjalon penerus dan peugantoë generasi tuha.

10. S: Pakriban tangiëng keu ureuëng-ureuëng awai njang ka geukeureubeuën droëgeuh demi tjita-tjita keumeurdèhkaan Atjèh.?

Dj: Sueuë njoë peunténg that keu geutanjoë bansa Atjèh. Teurutama that keu generasi- generasi muda Atjèh. Peukara pakriban tangiëng droë teuh njoë paléng pokok dalam hudép geutanjoë sibagoë manusia, makhluk Tuhan; sibagoë individu, sibagoë bansa. Untuk djaweuëb peukara njoë peureulèë ta peuteubiët saboh artikel khusus peukara njan. Ulôn tjuba djaweuëb sitjara singkat.

Na peuët boh generasi bansa Atjèh njang ka geukeureubeuën droëgeuh, djawong dan hareuta geuh demi geupeutheun nanggroë Atjèh njoë keu geutanjoë aneuk tjutjo. Generasi phôn: generasi prang Atjèh deungon Beulanda. Generasi keudua: Prang Atjèh deungon Djeupang . Njang keu-lhèë Prang Darul Islam deungon RI dan Generasi keu peuët nakeuh Prang Atjèh Meurdèhka deungon NKRI. Ban peuët boh prang njoë sifeuët djih saban njakni Prang peutheun nanggroë dan peuteuntèë nasib droë keudroë. Geutanjoë Atjèh taduëk di nanggroë droëteuh talawan musôh teuka Beulanda, Djeupang dan Indonesia. Bagi Beulanda, Djeupang dan Indonesia sidadu-sidadu djih njang maté geupoh lé tantra Atjèh , awak njan djibri pangkat phalawan dan got that dji hôreumat. Tapi tantra geutanjoë njang maté bak ta peutheun nanggroë droë teuh djitjap pemberontak dan got that djihina.

Sabab geutanjoë goh lom meunang prang dan mantong djimijub peundjadjahan Indonesia njang djiseubut droëdjih NKRI dan meupusat disidéh di Djakareuta, dipulo Djawa; maka geutanjoë Atjèh hana bibeuëh bak ta hôreumat dan peurajek phalawan-phalawan droëteuh bansa Atjèh. Sibalékdjih njang djipeulaku keu geutanjoë Atjèh djijuë perajek uroë phalawan Djawa, 10 november , uroë arek-arek Surobojo meunang prang di Surabaya , hana sapuë na sangkôt paôt deungon geutanjoë Atjèh.

Pahlawan - phalawan Atjèh Meurdéhka njang mantong fresh that dalam ingatan geutanjoë lagèë assjahid,Dr. Mokhtar Yahya Hasi, assjahid Dr. Zubir Mahmud, assjahid Tengku Hadji Ilyas Leubè, assjahid Tengku Idris Ahmad, assjahid Tengku Ibrahim Abdullah, assjahid Tengku Sjammaun Teumiëng, assjahid Tengku ben Dadeh, assjahid Tengku abdussamad Gadéng, assjahid Tengku Sjafii Abdullah, assjahid Tengku Sjammaun Gumpuëng, dan le that lom njang ka geurhô darah geuh ban saboh bumoë Atjèh, sjuhada njang that ta hôreumat lé geutanjoë Atjèh njan hana djihôreumat lé Indonesia djinoë malah sjuhada-sjuhada geutanjoë njan djihina lé TNI dan awak NKRI. Bagi geutanjoë Atjèh sjuhada-sjuhada njang djitjap “pemberontak” uléh TNI njan bandum nakeuh phalawan geutanjoë Atjèh.

Kadjeuët keu keuwadjiban keu geutanjoë untuk ta peugot daftar nibak ureuëng geutanjoë Atjèh njang ka sjahid dan kadjeuet keu korban untuk ta peu-ingat, lagèë meunan bandum bansa njang meu-adab dalam dônja. Kon ‘èt tingkat daftar mantong pajah peugot, teutapi pajah ta peugot seudjarah hudép gobnjan, sjair teuntang gobnjan, dan ta satoh keuluarga dan keuturônan ureuëng njan.

11. S: Puë bida kamoë meu kalon bandira mirah putéh , meu-peu-ingat uroë 17 agustus deungon droëneuh disinan neuhôreumat bandira nanggroë pat neuduëk njan dan neupeu-ingat uroë kebangsaan nanggroë njan?

Dj: Nanggroë teumpat kamoë duëk djinoë hana hubungan sapeuë deungon seudjarah geutanjoë Atjèh. Tok sibagoë djamèë geutanjoë disinoë, ta hôreumat ureuëng po rumoh bak ta menumpang, njang hana meulawan deungon agama meunumat geutanjoë..

Meutapi uroë 17 agustus 1945 njan uroë geutanjoë Atjèh gadoh keumeurdèhkaan dan gadoh nanggroë. Njan rajek that peukara keu geutanjoë Atjèh. Uroë njang peudéh dan hina keu geutanjoë Atjèh. Han sép tamoë deungon tarhô ië mata darah. Meudjuta bansa Atjèh ka habéh djawong bak geupeutheun keumeurdèhkaan dan nanggroë Atjèh.

Uléh RI ka djipeu-ingat keulai uroë keumeunangan RI ateuëh Atjèh deungon djijuë tèkèn bak Malék Mahmud mewakili GAM di Helsinki bahwa Atjèh dimijub NKRI bak uroë 15 agustus 2005 dan djipeusah bak 17 agustus 2005. Maka keubit uroë 17 agustus njan kadjeuët keu uroë keramat keu RI. Meutapi keu geutanjoë Atjèh, uroe njan nakeuh uroë berkabông, uroë malapetaka, uroë rôgha dan dukatjita. Bak uroë njan geutanjoë Atjèh pajah tabeuët yasin, pajah ta ba-e, ta meudo’a bak Po teuh supaja geupulang keumeurdèhkaan dan nanggroë geutanjoë Atjèh keu geutanjoë bansa Atjèh.

12. S: Pakriban deungon uroë pahlawan RI, 10 november. Peuë na patôt ta peu-ingat lé geutanjoë Atjèh. ?

Dj: Hana patôt. 10 november njan hana sangkôt paôt sapeuë deungon geutanjoë Atjèh. Njan uroë arèk-arèk Suroboyo didjak lawan Beulanda disidèh di Djawa. Pahlawan Republik Indonesia mubida deungon pahlawan Atjèh. Diponegoro, Sudirman, Aidit, Tan Malaka, Kartini, njan bandum pahlawan Djawa. Awak njan djiberdjuang keu droëdjih keu Djawa kon keu geutanjoë Atjèh. Hana meusiliëk sapeuë keu geutanjoë. Pakon hana malèë ta djak peusiliëk-siliëk droëteuh tadjak sandjông awaknjan sibagoë pahlawan Atjèh. Phalawan Atjèh lagèë njang lôn meutjeukot lam sueuë leumbôi 10, njang geurhô darah dan geubri djawong geuh keu Atjèh, njoë pat di Atjèh. Dan njan hana keunong sapeuë deungon uroë 10 november. Uroë phalawan geutanjoë nakeuh uroë phalawan-phalawan Atjèh reubah ateuëh bumoë Atjèh bak geupeutheun keumeurdèhkaan bansa dan Neugara Atjèh. Uroë reubah Tgk. Tjhik di Tiro, Tgk. Panglima Polém, Tjut NjakDhin, Dr. Mokhtar , Dr. Zubir, Tgk. Sjammaun, Tgk. Bén Dadéh, Tgk. Ismail Thalib, dll, njang bandum peureulèë ta peugot daftar dan pajah tamita consensus sabé geutanjoë Atjèh peuë uroë njang got ta peu-ingat sibagoë uroë phalawan Atjèh. Insja Allah.

13. S: Hai Tengku! Peuë makna njan “self government” atau pemerintah sendiri njang djipeugot dalam perdjandjian Helsinki. Peuë handjeuët ta patéh njan? EU disokong njan. Peuë handjeuët tadeungo dan taseutot njan dilèë?

Dj: “Self Government” artidjih Pemerintah keudroë mumakna Geutanjoë Atjèh ta atô nanggroë Atjèh keudroë; Ta peugot peumeurintah keudroë. Deuh djih dari narit njoë geutanjoë Atjèh ka meurdéhka, ka djeuët ta atô nanggroë droë keudroë. Tapi disampéng njan bèk tuwo bahwa perdjadjian Helsinki njoë bandum didasarkan ateuëh kedudukan Atjèh dimijub NKRI. Ateuëh neuduëk Atjèh sibagoë Propinsi ke--- nibak NKRI. Mumakna pemilihan di Atjèh, dan undang-undang njang tapeugot di Atjèh teuntèë tunduk kepada undang-undang NKRI, musti na persetudjuan DPR dan MPR NKRI. Dan gubernur di Atjèh njan nakeuh Gubernur NKRI njang musti tunduk keu Presiden NKRI dan teurimong peurintah dari Jakarta. Bak ulôntuan kalon “self government” njan hana djeu-ôh mubida nibak otonomi. Teuman otonomi njan tjhit ka didjôk lé NKRI watèë lheuëh prang DI. Peuë teuman didjak bri otonomi lom tjhit atra ka na. Peuë guna GAM geudjak muprang 29 thôn dan djinoë geudjak teurimong atra njang ka na bak djaroë. Peuë guna geudjak peuhabéh 30000 ureuëng Atjèh.

UE disokong perdjandjian Helsinki njan memang beutôi. Meutapi pakriban djeuët tapatéh 100% EU njan. Njang peuhantjô dônja dan peukaru nanggroê Asia, Afrika dan Latin Amerika tjit kolonial Iërupa, Inggréh, Prantjis, Spanjol. Awak njan njang djak prang dan djak djadjah nanggroë-nanggroë Asia, Afrika dan Amerika Latin njang sampoë uroë njoë mantong karu. Awak Ierupa njang djinoë ka djimeugabung dalam EU didjak bagi-bagi nanggroë Asia, Afrika dan Amerika Latèn meunurôt het awaknjan; meunurôt selera, keuheundak dan keupeunténgan awak njan. Kon meunurôt keuheundak dan keupeunténgan aneuk nanggroë njan. Awak Iërupa hantom djideungo su aneuk nanggroë meutapi djisokong sabé su peumimpin-peumimpin/diktator-diktator nanggroë-nanggroë njan untuk vested interest dan ke-untungan-keuntungan ekonomi Iërupa. Dan njang paléng hana adé lom, nakeuh PBB dan USA geusokong keupeunténgan awak Europa dan USA, disampéng hak veto awak nanggroë rajek njan. Dalam sistem demokrasi tjit lagèë njan. Soë njang rajek meu-su dan tjarong peugah haba njan njang deuh djideungo. Soë njang gasiën tjit han ék meusu lé, atawa pruët soh han ék meu-su lé. Njang meuwakili su ureuëng ramè kajém djipeuteuntèë uléh sidroë ureuëng njang na kuasa dan le pèng. Njang laén seutot dan 'eu mantong. Takalon dalam kampanje pemilihan presiden lam nanggroë-nanggroë demokrasi. Bandum ngui pèng djak kampanje peungarôh ureuëng. Njang hana pèng han ék peugot kampanje, phôn kon ka talô. Teuman ban meunang ka meuhutang deungon ureuëng njang bri biaja kampanje, hingga peuë njang djilakèë lé awaknjan(kapitalist) pajah djôk.

14. S: Ho neuh Tengku. Neupeugah batjut peukara demokrasi . Peuë han keumah geutanjoë Atjèh meurdéhka deungon demokrasi? 
Dj: Demokrasi njan meu-asai nibak dua krèk narit. Demo: njang mumakna rakjat. Krasi mumakna : kuasa. Demokrasi mumakna Kuasa rakjat. Supaja meu-atô dan bèk berlaku hukum rimba maka rakjat geupiléh waki-waki nibak kelompok-kelompok rakjat njang kira-kira saban meukeusud. Kelompok-kelompok rakjat njan geukheun parté. Peuë teuman ék bandum meukeusud rakjat keumah tapeugot parté? Njoë geukheun 'minoritet' dan hana soë waki. Dalam demokrasi njan geupiléh su. Soë njang le su njan keuh njang meunang njang peuteuntèë tjok keputusan ateuëh ureuëng njang nit su. Teuma ka teuntèë njang le su njan njang beutôi? Goh lom teuntèë.

Dalam system demokrasi kon djak peuteuntèë njang beutôi atau njang salah. Meungnjo le ureueng njang kheun beutôi atra njang salah pih kadjeuët keu beutôi. Meunantjit sibalékdjih. Tjeunto njang mudah: Meungnjo tapiléh su bak awak Indonesia peuë Atjèh tapeumeungkléh keudéh, tapeumeurdéhka atawa teutap sibagoë propinsi nibak NKRI? Teuntèë awak Indonesia han djitém, sabab Atjèh njan tjukôp kaja. Teuntèë rugoë that awak njan meungnjo handjeuët lé ditjok hasé Atjèh djipuwoë u Djawa. Pakriban ék meunang 3(lhèë) djuta su geutanjoë Atjèh talawan su 280 djuta su awak Indonesia. ? Di Pulo Djawa mantong kadang karap 100 djuta, pané mungkén meunang geutanjoë deungon tapiléh su atawa deungon tjara demokrasi.

Wawancara singkat dengan Guree Rahman.

oleh: Rondang Erlina Marpaung di Stockholm - Swedia.

PENGANTAR SEJENAK

Tanggal 1 Mei 2002 - waktu itu jam menunjukkan pukul 12.00 siang waktu Swedia. Saya dan putri saya sudah berada di lapangan Humlegĺrden di Stockholm. Bagi saya hari Buruh Internasional 1 Mei 2002 adalah tahun kenangan yang ke duakalinya (yang pertama tahun 2001) sebagai pengatur dokumenter film dan putri saya Nyala Baceh (Magister sinologi lulusan Universitas Stockholm) , sebagai jurukamera film - berada di tengah-tengah masyarakat Aceh dan berbagai lapisan masyarakat lainnya yang berada di Stockholm -bersama-sama merayakan hari Buruh Inteernasional 1 Mei. Dari Humlegĺrden pk. 14.00 - barisan panjang march sepanjang jalan Kungsgatan menuju dan berkumpul di Norra Bantorget di mana rapat akbar di selenggarakan dan di sana pulalah Perdana Menteri Swedia Göran Person menyambut dan memberikan wejangannya.

Satu Mei kali ini bagi saya agak lain dibandingkan dengan Satu Mei tahun yang lalu. Saya mendengar kabar bahwa ada seorang panglima AGAM akan turut dalam pawai 1 Mei. Naluri profesi saya sebagai jurnalis ( mantan jurnalis Berita Minggu dan Sulindo Suluh Indonesia) langsung menggebu-gebu , tak akan pernah padam dan tak akan seorang pun bisa memadamkannya. Keinginan saya untuk mengetahui dari dekat siapa dia dan mengapa ke Swedia. Ini sebuah fakta dan ini tugas jurnalis dan saya harus mengabadikannya. Saya pernah mengatakan pada salah seorang Aceh yang saya kenal: - Saya sympati pada perjuangan rakyat AAceh. Bukan saja rakyat Aceh juga orang Ambon dan Papua dan orang Dayak yang hutannya sudah di rusak oleh orang pendatang. Saya juga bersimpati pada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi untuk negerinya. Dan saya sudah mengabadikannya dalam sebuah tulisan yang berjudul : "Aku Mau Hidup" dan di muat di Apakabar John MacDougall tahun 1999.

Rombongan demi rombongan para peserta pawai sudah mulai berdatangan. Panitia mencek barisan-barisan yang sudah tiba. Sebab menurut peraturan di Swedia, orang yang mau melakukan kegiatan apapun harus mencatat dan melapor pada kepolisian. Termasuk ketika masyarakat Aceh berdemonstrasi di depan kedutaan RI di Stockholm tahun 2000.

Saya mengangkat telefon genggam saya dan menelepon orang Aceh yang saya kenal yang akan datang bersama panglima Agam itu. - Halo, di mana kalian!" Dari jauh terdengar jawaban: - Kami baru turun dari kereta api. Sebentar lagi kami sampai , kak!

Ternyata Panglima Agam itu sudah sampai dan telah cepat berbaur dengan masyarakat Aceh di lapangan. Bentuk tubuh dan pembawaan Panglima itu benar-benar dia orang lapangan. Tegap dan gesit, cepat bertindak, penuh inisiatif dan ramah. Orang melihat sepintas tidak menduga bahwa dialah panglima Agam yang di kejar-kejar oleh ABRI masa kini.

Di pinggir lapangan dekat jalan - tampak oleh saya mata2 Malek Malek Maahmud berkacamata hitam, dan di dalam lapangan sudah ada beberapa orang dari kelompok itu yang sedang berkeliaran. Wah, nampaknya mereka ingin juga melihat wajah panglima Agam itu, seperti apa dan bagaimana?!? Dibawah ini catatan tentang Guree dan interviu saya dengan Guree Rakhman serta beberapa foto tentang keberadaannya.

Siapakah Panglima Agam ini ?
Nama lengkap mantan panglima itu adalah Abdurrahman Ismail. Sehari-hari masyarakat Aceh memanggil dia Guree (Guru) Rahman. Sebelum menerjunkan diri dalam pasukan AGAM, dia pernah menjadi pegawai negeri sipil di Bagian Pendidikan dan Kebudayaan di kampung asalnya, Lhoksukon - daerah yang kaya gas dan minyak. Salah satu wilayah perang yang penting dalam melawan Belanda di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan besar al. Cut Mutia, dan suaminya Teungku Chik di Tunong, Tgk Chik Paya Bakong, Panglima Latif dan Panglima Nanggroe.

Tahun 1987Guree menjabat Ulee (Kepala) Sagoe Panglima Nanggroe Lhoksukon. Tahun 1992 Guree menjadi Panglima Komando Wilayah Pase. Sebelumnya pada 1990 Guree menjadi Komandan Operasi Daerah Pase, dilantik oleh Perdana Menteri Aceh Merdeka, dr. Muchtar Hasbi (telah gugur) dengan surat pengangkatan dari Tgk Ismail ben Thalib (telah gugur) Kepala Wilayah Pase. Pada tahun itu di bawah komando Guree AGAM berhasil merebut 24 pucuk senjata dari Markas TNI di Buloh Blang Ara, Kecamatan Kota Makmur, Aceh Utara. Pada masa ini Muzakir Manaf, Panglima AGAM yang menggantikan Teungku Abdullah Syafi'i, berada dalam pasukan Guree.

Tahun 1992 Guree ditetapkan sebagai Panglima Komando Wilayah Pase dan bertolak ke Malaysia tahun1995 atas suatu tugas khusus. Guree pernah memimpin satu pasukan gerilya yang menjelajahi kawasan hingga ke Beutong Ateuh dan bertemu di sana dengan Tgk Bantakiyah, yang telah menjadi korban dalam pembunuhan massal oleh Kopassus dan Kostrad. TNI menjadikan Aceh Daerah Operasi Militer yang sangat terkenal kelalimannya. Paling banyak penduduk Aceh terpaksa menyelamatkan diri ke luar negeri, di antaranya seluruh keluarga isteri Guree. Di Malaysia mereka ditangkap sebagai "pendatang haram" dan dijebloskan ke dalam penjara. Atas bantuan kemanusiaan UNHCR dan lobbi MBGAM akhirnya mereka di selamatkan ke Swedia pada bulan Maret 2001.

Pada Hari Buruh Internasional 1 Mei ini, Guree Rahman berbaur bersama dr. H. Husaini Hasan - Ketua MPGAM, Tgk. Daud Paneuk, mantan Panglima/Menteri Pertahanan AGAM dan Yusuf Daud - sekjen MBGAM Eropa, turun ke jalan ikut berpawai massal di ibu kota Swedia, Stockholm.

Panglima Agam ini bertubuh besar kekar bermantel coklat dan berwajah simpatik itu, sambil mengganding anak perempuannya bergerak tegap membawa bendera Aceh Merdeka di deretan paling depan barisan masyarakat Aceh. Saya dan Nyala mengabadikan peristiwa itu menjadi sebuah film dokumenter tentang kegiatan masyarakat Aceh di Swedia.

Guree Rahman , isterinya bersama dua anak perempuannya, seorang anak lekaki yang ke semuanya masih kecil-kecil tidak tinggal di Stockholm. Dia bersama keluarga isterinya dan puluhan pengungsi Aceh lainnya tinggal di Hällefors sebelah barat laut Stockholm, yang jaraknya dari ibu kota Swedia tiga setengah jam bermobil nonstop. Karena itu terpaksa saya dan putri saya mencari kesempatan sesudah 1 Mei untuk mewawancainya sekaligus di rekam di depan kamera video dan saya duduk di sebelah kamera. Hanya suara saya saja yang terdengar. Inilah wawancara itu...

Tanya: Anda ditangkap di Malaysia, kapan dan karena apa?
Jawab: Saya ditangkap oleh polis Malaysia pada 22 November 1999, atas tuduhan penyeludupan senjata api untuk kepentingan GAM. Ternyata tidak benar. Itu semua hanya tuduhan saja. Tapi setelah diperiksa ternyata tidak ada bukti. Itu semua fitnah pihak lain. Saya sempat ditahan sampai dua tahun lebih di bawah akta ISA (Internal Security Act) sebelum saya dibebaskan.

T: Hukuman apa yang dijatuhkan pada Anda?
J: Seperti saya terangkan tadi. Begitulah ceritanya (sambil tertawa geli). Saya tak mendapat hukuman apa-apa. Saya berada di bawah akta ISA. Bukan dijatuhkan hukuman.

T: Bagaimana reaksi pemerintah Indonesia dan TNI?
J: Ya, mereka tentu senang sekali, karena rencana untuk menangkap saya sudah berhasil. Saya sudah ditangkap di Malaysia. Tapi sebaliknya, rancangan TNI sudah gagal. Saya pun sudah selamat di bawah lindungan UNHCR

T: Bagaimana pula reaksi ASNLF dan AGAM, khususnya Wali Nanggroe Hasan di Tiro atas peristiwa itu?
J: Reaksi ASNLF dan AGAM tidak ada bedanya. Begitu diketahuinya saya ditangkap, langsung dikomentari perkara penahanan saya di media Malaysia melalui New Straits Times, Berita Harian, dll pada waktu yang sama. Jubir AGAM ketika itu, Ismail Syahputra, langsung membeberkan kepada surat kabar surat kabar tentang penangkapan saya. Ismail mengatakan kepada Harian Serambi bahwa hukuman yang akan diberikan kepada saya adalah "hukuman gantung mati". Dia langsung menuduh MPGAM tentang kejadian penangkapan saya. Makanya proses pembebasan saya makan waktu yang lama, karena Indonesia sudah mengetahui kejadian itu melalui media massa tersebut, yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tersebut. Itulah sebabnya ketika itu saya susah untuk membebaskan diri. Sebab pemerintah RI sudah mengetahuinya. Tanpa pembocoran dari mereka, pemerintah RI tak mungkin tahu.

T: Bagaimana Anda bisa dibebaskan?
J: Prosesnya memang tidak mudah, memakan waktu sampai dua tahun dua bulan. Ada beberapa faktor bagaimana saya dapat dibebaskan. Pertama, kasus saya ditangani langsung oleh UNCHR di Kuala Lumpur. Kedua, isteri dan anak-anak saya sudah duluan berangkat ke Swedia, kemudian pemerintah Swedia terpaksa mencampuri untuk menangani kasus saya. Ketiga, tidak kurang pentingnya juga bantuan kawan-kawan seperjuangan saya, lobbi-lobbi yang dilakukan MB GAM Eropa, simpati sahabat sahabat saya di Malaysia, dan usaha kemanusiaan dari pemerintah Swedia dan UNHCR.

T: Apa reaksi pemerintah Indonesia dan TNI setelah Anda dibebaskan?
J: Tentu saja mereka sangat kecewa. Mereka telah berkali-kali meminta Malaysia supaya menghantar balik saya ke Indonesia karena saya terlibat dalam GAM. Tapi karena persoalan saya telah ditangani UNCHR dan badan dunia lainnya, juga pemerintah Swedia memberikan bantuan, maka sudah barang pasti Malaysia sulit untuk mengabulkan permintaan Indonesia.

T: Apa reaksi ASNLF dan AGAM di luar negeri dan di Aceh setelah Anda dibebaskan?
J: Kawan-kawan saya seperjuangan mulai dari Aceh sampai ke Malaysia, Australia, Amerika dan Eropa senang sekali mendengar khabar baik itu. Melalui telifon di rumah, HP, E-mails mereka mengontak langsung saya, menyampaikan syukurnya kepada Allah dan mengucapkan tahniah (selamat) atas pembebasan saya, juga menanyakan khabar dan kesehatan saya. Di Swedia saya dipeusijuek (upacara selamatan) di Meunasah Aceh di Fittja, Stockholm. Tapi ada juga pihak-pihak tertentu yang menginginkan sebaliknya.

T: Anda kontak juga Wali Negara Hasan di Tiro setelah tiba di Swedia?
J: Pada hari kedua saya di bumi Swedia (23 Maret 2002) yang bertutup salju waktu itu, langsung mengontak Wali dengan telifon. Beliau gembira, mengatakan ingin bertemu dan berjanji akan menyuruh seseorang menjemput saya di Hällefors. Dia minta nomor telifon saya. Tetapi berkali-kali saya eja nomornya, tetap tidak mampu mencatat. Dari pembicaraan dengannya sekitar setengah jam, terasa keadaannya tidak begitu sehat. Saya nantikan jemputan itu tidak kunjung tiba. Saya usul biar saya datang sendiri ke rumahnya. Katanya mesti melalui dokter Zaini Abdullah.

Saya pergi ke Stockholm untuk menjumpainya. Waktu itu saya dibawa oleh dokter Husaini Hasan ke satu tempat. Dia tunjukkan pada saya dokter Zaini Abdullah dengan isterinya sedang berjalan. Dia berhentikan mobilnya dan saya turun mobil, terus mendatangi dokter Zaini. Sesuai dengan usul Wali Negara, saya minta agar saya dan isteri saya dipertemukannya dengan Wali. Tetapi Menteri Kesehatan ASNLF yang masih famili Wali Negara itu menolak. Saya tidak diizinkannya menemui WaliNegara. Itu berarti Wali sudah di bawah kontrol orang-orang sekitarnya.

T: Mengapa Anda ikut berpawai merayakan 1 Mei, padahal itu dilarang di Indonesia termasuk di Aceh?
J: Ya, itu di Indonesia, tapi kan nggak di Swedia ini? Saya ingat, Swedia ini kan negara demokratis! Di sini diterima berbagai bangsa, dilindungi hak mereka memperjuangkan kepentingan dan kemerdekaannya. Di sini ada hak kebebasan rakyat. Di Indonesia yang ada kekerasan negara. Tidak ada demokrasi, tidak ada hak rakyat bersuara. Satu Mei itu kan Hari Raya rakyat pekerja? Kami berjuang untuk rakyat pekerja yang sekarang dianiaya oleh alat negara RI.

T: Mengapa Anda berpawai dalam barisan yang dipimpin dr. Husaini, Teungku Daud Paneuk dan Yusuf Daud?
J: Pertama, masalah itu telah saya pelajari dan lihat langsung dengan mata saya sendiri bahwa tidak ada kumpulan Aceh yang lain di Swedia yang melaksanakan pawai satu Mei. Kedua, kumpulan Aceh yang mereka pimpin itu mewakili lebih dari 75% rakyat Aceh yang ada di Swedia. Ketiga, saya juga telah mempelajari bahwa ketiga-tiga pemimpin ini merupakan senior senior GAM yang masih tetap berjuang untuk rakyat dan bangsa Aceh, walaupun ada pihak-pihak yang menyebarkan fitnah mengatakan sebaliknya untuk mengusir mereka dari perjuangan itu. Keempat, saya menilai pemimpin-pemimpin yang dikatakan mewakili MP/MB GAM khususnya di luar Aceh, memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyuarakan jeritan rakyat Aceh dan memajukan perjuangan Aceh di luar negeri. Mereka pejuang-pejuang profesional dan orang-orang berkarisma sejak dari 1976 bersama Hasan di Tiro dan masih di bawah bendera yang sama. Tidak mereka tukar bendera Aceh Merdeka itu. Saya mendarat di Swedia karena bendera itu. Saya berbaris bersama mereka, karena mereka masih kawan-kawan saya dulu, masih berjuang untuk tujuan kemerdekaan Aceh. Saya tahu yang mana intan, yang mana kaca. Saya tahu Wali Negara sudah tua. Tapi saya tidak mau menyebarkan fitnah.

T: Dari begitu banyak semboyan diangkat dalam pawai Aceh kali ini, ada yang menyangkut masalah otonomi Nanggroe Aceh Darussalam atau NAD. Apa pendapat Anda tentang itu?
J: Itu menarik sekali. Supaya dunia luar bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh regim Indonesia di Aceh. Supaya masyarakat dunia membaca semboyan dan tuntutan adil bangsa Aceh yang diangkat barisan tersebut. Yang tertulis itu jeritan bangsa Aceh. Sebab kekejaman yang dilakukan TNI di Aceh tak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan menurut yang tertulis dalam Pancasila sebagai dasar negara RI. Aparat negara RI membunuh, membakar, merompak, memperkosa, menganiaya dan kebiadaban lainnya. Itu tidak sesuai dengan Pancasila. Itu bukan perbuatan manusia dan tak dapat diterima oleh rasa kemanusiaan dan keadilan internasional. Karena itu Aceh harus lepas dari RI. Harus pisah dari RI.

T: Tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh apa komentar Anda?
J: Pelaksanaan Syariah Islam merupakan tipu-daya RI yang paling licik untuk mengalihkan perkara yang sebenarnya yang sedang terjadi di Aceh. RI ingin memberi kesan kepada dunia internasional seakan-akan yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh sekarang adalah "Syariah Islam" dan orang Aceh dapat dilabelkan sebagai Islam fundamentalis. Perlu diketahui bahwa Islam sudah lebih seribu tahun tegak di Aceh. Islam dan Aceh itu satu - tidak dapat dipisah-pisahkan. Hidup dan seluruh kehidupan di Aceh diatur oleh Islam dan dinilai secara Islami. Walaupun demikian, Aceh tidak pernah tergolong ke dalam Islam fundamentalis, sebab orang Aceh sangat tolerans dan sangat menghormati penganut-penganut kepercayaan lain. Oleh sebab itu orang Aceh tidak perlu mengimpor "syariat Islam" dari Batavia. Yang sesuai diimpor Aceh dari Jakarta adalah tahu dan tempe, sebab orang Aceh tidak tahu membuat tahu dan tempe. Lagi pula persoalan Aceh sekarang adalah persoalan politik semata-mata yang wajib diselesaikan dengan politik juga - bukan dengan "syariat Islam Gaduungan" ala Jakarta.

T: Bagaimana pendapat Anda tentang perundingan Jenewa antara ASNLF dan RI?
J: Perundingan memang diperlukan dan ianya merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Tetapi kalau kita meninjau kembali semua kesepakatan yang telah disepakati oleh RI dan ASNLF sejak mulai perundingan Mei tahun lalu sungguh sangat disesalkan. Sebab, semua kesepakatan yang dilakukan di Jenewa itu tidak ada pengaruh sedikit pun di lapangan dan tidak pernah mengurangi penderitaan rakyat. Malah korban di sana, korban di sini. Pembunuhan di sana, pembunuhan di sini. Di Jenewa tengah berbincang, di Aceh tengah dilakukan pembunuhan. Apalagi pembicaraan di Jenewa tertutup. Perundingan tak boleh tertutup. Masalah Aceh adalah masalah internasional, bukan masalah dalaman (internal) Aceh, juga bukan masalah internal Indonesia. Tak boleh kami terima tertutup. Perundingan Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka dengan mereka saja, antara RI dengan ASNLF. Tidak mengena apapun bagi bagi rakyat Aceh. Jadi semua perjanjian di Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka (RI) dengan mereka (ASNLF) - tidak kena mengena dengan apa yang dihadapi oleh rakyat Aceh.

Kalau dilihat dengan teliti dan seksama prosesnya perjanjian Jenewa, maka jelas kepada siapa pun bahwa semua proses itu didikte dan ditentukan oleh RI, sedangkan ASNLF tinggal ikut saja. RI-lah yang menentukan segala-galanya: kapan sidang itu diadakan, agenda apa akan dibawa, siapa pemerhati yang akan diundang dan kalau perlu RI boleh menunda (mempermain-mainkan) atau membatalkan pertemuan-pertemuan yang telah ditetapkan dengan sesuka hatinya tanpa harus berkonsultasi dengan ASNLF. Inilah cara-cara RI memperalat ASNLF dan mempermain-mainkan nyawa rakyat Aceh semata-mata, supaya kejahatan regim Jakarta dan TNI di Aceh merompak, membunuh, kekejaman lainnya yang telah dilakukan berpuluh tahun tidak tampak.
T: Apa pesan Anda kepada rakyat dan GAM/AGAM di Aceh?
J: Pesan saya singkat saja. Perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan Aceh wajib diteruskan, walau dalam keadaan apa pun. Pendudukan, kekejaman dan kebiadaban TNI atas Aceh wajib dilawan dengan kekuatan dan cara apa saja yang ada pada kita. Seluruh bangsa Aceh, GAM-AGAM, mahasiswa, ulama, kaum birokrat, petani, dan lain-lain, di mana saja berada, mari satukan misi dan visi kita untuk menegakkan kembali kedaulatan dan kemerdekaan kita bangsa Aceh yang tengah dijajah regimJakarta. Kemerdekaan itu mustahil kita dapati dengan cara mudah. Kita harus korbankan jiwa raga kita, korbankan harta, korbankan darah, tenaga dan sebagainya seperti Endatu bangsa Aceh dulu melawan Belanda, melawan Jepang. Itu semua kesinambungan perjuangan hari ini yang tidak boleh terpisah dari jiwa kita. Musuh kita harus kita lawan. Kita ingin merdeka. Begitu juga harapan saya kepada pemuda-pemudi Aceh supaya bekali dirimu dengan pendidikan, berbagai ilmu pengetahuan yang sesuai dengan perjuangan menentang kelaliman, kejahatan dan penjajahan supaya cucu, cicit kita tidak akan menderita seperti kita sekarang ini. Tanpa ilmu, kita akan terus diperbodohkan, dipermain-mainkan nyawa bangsa kita oleh RI di bawah slogan kosong "NAD", "syariat Islam", "Otsus" dll. Kita harus siap sedia menghadapi segalanya itu, sebab tipu daya Jakarta sekarang atas rakyat Aceh sudah kali pertama, kedua dan ketiga. Sekali ini jangan tertipu lagi. Sekali merdeka tetap merdeka. Kita ingin merdeka. Menegakkan negara kesinambungan Aceh. Sinambung dari nenek-nenek kita sampai sekarang. Bendera Aceh kita akan kita kibarkan kembali di Aceh kita. ***

MENYIBAK SELUBUNG KMB

Yusra Habib Abdul Gani
Wednesday, November 3, 2010
 
Sesudah melewati setengah abad, barulah Ratu Belanda atas nama pemerintah Belanda merencanakan memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, sekaligus “menyudahi berpuluh-puluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengaku penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, melalui Perjanjian KMB, 27/12/1949.” (Antara Press, 04/10/2010).

Pemberikan pengakuan akhirnya bantut –untuk sementara gagal– setelah pejuang RMS di pengasingan (Belanda) mengajukan Sidang pra-peradilan (kort gedig) terhadap Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atas tuduhan melakukan sederetan pelanggaran HAM di Maluku yang rencananya digelar bersamaan dengan kunjungannya ke Belanda. SBY (Presiden Indonesia) adalah satu-satunya kepala negara di dunia yang merasa khawatir dan takut atas tidak mujarabnya kekebalan hukum atas seorang Kepala Negara (diplomat) yang nyata-nyata dijamin oleh Resolusi PBB.

Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu sekaligus mengakhiri drama sejarah yang sarat dengan hal-hal yang kontroversial di sekitar penanda tanganan Pejanjian KMB, seperti: keharusan Indonesia membayar kompensasi sebesar 600 juta Golden kepada Belanda atas dasar pe-nasionalisasi-an seluruh hartanah Belanda di wilayah “Netherlans Easts Indies”, yang pembayarannya baru lunas tahun 2003. Naskah Perjanjian yang mewajibkan Indonesia membayar 600 juta Golden kepada Belanda, ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX (wakil RIS) dan A.H.J Lovink (Wakil Belanda) di Jakarta. Perbuatan ini dirahasiakan oleh penguasa (pelaku sejarah Indonesia) kepada rakyat dan baru terungkap di kalangan elite politisi Indonesia, setelah wartawan detikcom berhasil menelusuri jejak langkah kompensasi yang aneh bin ajaib itu dan membeberkan kepada masyarakat umum pertengahan tahun 2003. Selain itu, Keberadaan Perjanjian KMB, pada 27/12/1949, ‘benarkah Penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia (NKRI)?’ Demikian juga masalah status Aceh dalam hubungannya dengan isi Perjanjian KMB yang belum sempat terungkap sampai sekarang. Untuk itu, pembuktian di bawah ini kiranya bisa membuka tirai sejarah Indonesia.

Dalam Perjanjian Linggarjati antara Pemerintah RI dan Komisi Umum Belanda, pada 25 Maret 1947 disepakati: (1). Belanda mengakui secara de facto RI dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura; (2). Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada 1 Januari 1949; (3). RI dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indoensia serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya adalah RI; (4). Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. {Baca: 30 tahun Indonesia Merdeka 1945 – 1949. Sekretaris Negara Indonesia, cetakan ke-7, 1986}”… wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera...” yang disebut dalam point 1 ialah: ”Negara Sumatera Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan, Labuhan Batu dan Negara Sumatera Selatan.” Hal ini ditegaskan dalam Piagam Konstitusi RIS, ayat 6–7 yang disahkan pada 14 Desember 1949. Perjanjian ini tidak menyinggung status Aceh, yang ketika itu merupakan wilayah yang bebas dan merdeka. Tegasnya, Aceh bukan sebagian wilayah negara Sumatera Timur.

Sewaktu Van Mook membentuk: (1). Negara Pasundan, 4 Mei 1947; (2). “Dewan Federal Borneo Tenggara”, 9 Mei 1947; (3). ‘Daerah Istimewa Borneo Barat’, 12 Mei 1947; (4). Negara Madura, 23 Januari 1948; (5). Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948; (6). Pemerintah Federal Sumatera; (7). Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948; (8). Republik Indonesia (RI) yang wilayahnya hanya meliputi Yogyakarta dan sekitarnya; (9). Forum bersama di tingkat Federal, dibentuk Bijeenkomst Voor Federal overleg (Badan Permusyawaratan Federal) di luar RI, yang diketuai oleh Sultan Hamid Algadrie II. Disini jelas, Van Mook (Belanda) tidak pernah masuk ke Aceh dan membentuk negara Aceh.

Dalam Perjanjian Renville, 17/01/1948 disepakati: “wilayah RI yang secara de facto diakui Belanda dalam perjanjian Linggarjati dipaksa dikosongkan mulai dari sebagian Sumatera, Jawa Barat sampai ke Jawa Timur dari penguasaan tentara RI, yang dikenal dengan ‘garis Van Mook’.” Ibukota RI (Yogyakarta) jatuh ke tangan Belanda pada 19/12/1948, Sukarno-Hatta ditahan dan dibuang ke Bangka. ‘Garis Van Mook’ tidak pernah direntang Belanda sampai ke Aceh.

Perjanjian Roem-Royen, 7/05/1949 menyetujui: “Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan republik. Tuntutan RI agar wilayah Jawa, Madura dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda jangan lagi diganggu gugat. Fakta ini membuktikan bahwa Aceh wilayah yang dituntut RI.

Konferensi antara wakil RI dan BFO (19/07 - 2/08/1949) menghasilkan: (1). Membentuk susunan dan hak Pemerintah RIS, kewajiban-kewajiban RIS dan Belanda jika terjadi penyerahan ”kekuasaan” dari Belanda kepada RIS; (2). Menyiapkan Piagam Konstitusi RIS untuk ditanda tangani pada 14 Desember 1949 oleh wakil dari 16 negara bagian. (1). Mr. Susanto Tirtoprodjo (Republik Indonesia), (2). Sultan Hamid II (Kalimantan Barat), (3). Ide Anak Agoeng Gde Agoeng (Indonesia Timur), (4). R.A.A Tjakraninggrat (Madura), (5). Mohammad Hanafiah (Banjar), (6) Mohammad Jusuf Rasidi (Bangka), (7). K.A. Mohhammad Jusuf (Belitung), (8). Muhran bin Haji Ali (Dayak Besar), (9). Dr R.V Sudjito (Jawa Tengah), (10). Raden Sudarno (Jawa Timur), (11). M. Jamani (Kalimantan Tenggara), (12). AP. Sastronegoro (Kalimantan Timur), (13). Mr. Djumhana Wiriatmadja (Pasundan), (14) Radja Mohammad (Riau), (15). Abdul Malik (Sumatera Selatan) dan (16). Radja Kaliamsyah Sinaga (Sumatera Timur); (3). Memilih Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO) ke KMB. Disini jelas, Aceh tidak ikut campur dalam urusan BFO dan RIS. Akan halnya dengan:
Naskah KMB ditanda tangani tgl 2/11/1949 oleh Mr. J.H. Van Maarseveen (wakil Belanda), Mohammad Hatta (wakil RIS) dan Sultan Hamid II (wakil BFO);
Penyerahan Kekuasaan dari Belanda kepada Negara Indonesia Serikat (RIS) pada tgl 27/12/1949. Mohammad Hatta ditunjuk sebagai Ketua delegasi RIS;. Delegasi Belanda: Ratu Juliana, Dr. Willem Drees (Perdana Menteri) dan Mr. A.M.J.A Sasen (Menteri Seberang Lautan);
Penyerahan Kekuasaan ini ditanda tangani juga secara terpisah di Jakarta oleh Sri Sultan Hamangkubuono IX dan A.H.J. Lovink;
Penyerahan Kekuasaan dari Republik Indonesia (RI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) juga berlangsung di Yogyakarta.

Ke-empat peristiwa tersebut membuktikan bahwa, Aceh tidak terlibat dalam urusan politik antara RIS, RI dan Belanda. Perjanjian tersebut secara hukum hanya mengikat pihak-pihak yang berjanji, tidak termasuk Aceh.

Fakta diatas mebuktikan bahwa, Belanda bukan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia (NKRI), melainkan kepada RIS. Jika Ratu Belanda memberi pengakuan (‘recognation’) kepada kemerdekaan RI tahun 1945, yang wilayahnya mencakup bekas “Netherlans Easts Indies”, maka mestilah memansyukhkan terlebih dahulu isi Perjanjian KMB 27/12/1949. Jika tidak, terjadi ‘overleving’ hukum.

Sebab R.I yang terima Penyerahan Kedaulatan waktu itu, wilyahnya hanya Jogyakarta dan daerah sekitarnya, plus wilayah dari 15 negara bagian Republik Inidonesia Serikat (RIS). Pengakuan Belanda ini sudah tentu berimbas politik, yakni: pelimpahan kuasa dari “Netherlans Easts Indies” kepada “Indonesia”. Dalam konteks ini, status Aceh tetap tidak tergugat, oleh karena salah satu point Ultimatum Komisaris Pemerintah Hindia Belanda kepada Kesultanan Aceh, 26 Maret 1873, diantaranya menyebut: “Serahkan seluruh bagian Sumatera yang berada dalam perlindungan Kesultanan Acheh” Penyerahan ini tidak pernah terjadi. Dengan demikian, Aceh bukan atau tidak pernah menjadi sebagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.” Dalam etika hukum diakui bahwa: “Dianggap tindakan illegal, jika satu pihak menyerahkan sesuatu barang yang bukan hak miliknya kepada orang lain.” Artinya, jika pengakuan (‘recognation’) Belanda mengakibatkan Aceh menjadi bagain dari Indonesia, maka secara yuridis, tindakan Belanda illegal, karena dalam sejarahnya, Aceh tidak pernah menjadi bagian dari wilayah “Netherlans Easts Indies.”

CIRI-CIRI GAM MURNI

WASPADA 20 Juli 1999

KUALA LUMPUR (Waspada): Untuk membedakan identitas anggota para pejuang GAM yang murni serta perbedaannya dengan provokator, Majelis Pemerintahan GAM yang bermarkas sementara di Kuala Lumpur sepakat mengeluarkan ciri ciri GAMnya.

Kesepakatan mengeluarkan identitas murni para pejuang GAM, sehubungan adanya kelompok atau pihak tertentu yang sering berlaku aneh mengatasnamakan AM. Padahal dari aksi, tingkah lakunya jelas jelas bertentangan dengan mig sebenarnya.

Karena itu, kata Teuku Don Zulfahri, Sekjen GAM kepada Waspada Senin (19/7) malam, untuk tidak meresahkan masyarakat di negeri kami dipandang sudah waktunya GAM mengeluarkan kriteria atau ciri ciri GAM murni. Tuk lain agar jangan ada pihak tertentu yang berani "membonceng" diri arakan Aceh Merdeka.

Pada sisi lain, tandas Teuku Don, juga rakyat Aceh sendiri perlu tahu membedakan yang mana musuh yang mana kawan sehingga tidak terjebak dalam ajakan yang menyesatkan/memutar balikkan fakta cita cita bangsa Aceh.

Adapun ciri ciri penting anggota para pejuang GAM, pada dirirnya melekat unsur ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul serta berakhlak mulia, amanah, kejujuran dan keikhlasan tetap dikedepankan. Setiap anggota para pejuang GAM wajib menjaga keselamatan, harta dan marwah bangsa Aceh, serta berkepribadian, bertingklahlaku akhlakulkarimah yang semata mata mementingkan perjuangan bangsa Aceh secara umum, bukan untuk kepentingan pribadi, tutur Teuku Don.

Hal lain yang termasuk dalam keriteria penting sebagai pejuang GAM mutlak menjaga kedisiplinan dan loyal kepada pimpinan yang adil serta berpegang teguh kepada doktrin amar makruf nahi mungkar.

Rapat Majelis Pemerintahan GAM yang berlangsung sekitar 10 jam pada 13 Juli tersebut juga menggariskan fungsi utama para pejuang GAM meliputi tugas pelaksanaan perang sabil mengusir penjajah dari bumi Aceh.

Bagian lain keputusan rapat tersebut yang dihadiri oleh semua anggota Majelis Pemerintahan GAM berjumlah 11 orang, kecuali dr. Husaini Hasan yang sedang berada di Eropah, juga menetapkan perlunya anggota para pejuang GAM menjaga keamanan, harta dan marwah rakyat Aceh.

Selain itu anggota GAM dilarang melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap bangsa Aceh yang dianggap bersalah (cuak-Red) tanpa adanya ketetapan/fatwa hukum yang diputuskan oleh Majelis Ulama/Fatwa GAM di setiap wilayah, daerah dan sagoe.

Panglima Perang GAM, Tgk Daud Paneuk yang sengaja dihubungi Waspada di tempat terpisah, menyambut baik adanya keriteria khusus ini sebagai pegangan bagi bangsa Aceh agar tidak mudah dipecah belah dan diadu domba.

Menurut Daud Paneuk, biasa dalam suasana seperti sekarang banyak orang memancing dalam air keruh seperti adanya intervensi dan kekacauan yang dicipta oleh "rezim Jakarta". Karena itu dia menghimbau, agar seluruh lapisan dan komponen masyarakat Aceh agar waspada terhadap agitasi dan intimidasi untuk mengagalkan cita cita bangsa Aceh untuk bebas dari penjajahan Indonesia.

Pada sisi lain, Tgk Idris Mahmud, anggota Majelis Pemerintahan GAM juga sependapat tentang pengeluaran keriteria sebagai pedoman bagi seluruh srata masyarakat. " Ini sangat penting karena dibalik GAM ada pula GAM gadungan yang sering beraksi untuk menodai dan merusak citra GAM sebagai pelopor perjuangan bangsa Aceh" ujar abang kandung almarhum dr Zubir Mahmud
Sumber FB

Abu Kuta Krueng




Silsilah Nabi/ Rasul