Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (3)



DALAM sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usaha-usaha penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21 Oktober 1975 menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya di Asia Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas alam terkaya di dunia." Jurnal itu juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah menawarkan 37 persen konsesi Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada pemerintah Jepang. Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak melibatkan orang Aceh yang memiliki kekayaan alam itu.

"Rakyat Aceh menjadi terasing di negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah hal semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam catatan hariannya.

Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan Nasional (National Liberation Front Acheh Sumatera = NLFAS) di "Propinsi Pase", tempat Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan lembut" dengan show of force di dekat Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak.

Dalam aksinya, pasukan NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi keselamatan mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang dari Mobil dan Bechtel agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat kembali lagi nanti kalau suatu saat Aceh sudah merdeka," demikian bunyi seruan yang disebarluaskan.

Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir jalan raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.

Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya "pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para penyuplai makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS-- dengan seseorang. Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku!"

Masalahnya adalah pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya. "Tidak! Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi.

Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat ke tanah dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja sepanjang hari yang cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan pakaian hijau dan pistol tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro.

Lalu, ia meminta pengawal untuk membawa orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk tergesa-gesa dan langsung mencium tangan Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya Taleb Abu Mae (Ismail). Air matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok sehari sebelumnya dan tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro. Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu merupakan pertemuan yang sangat bermakna.

Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae tewas diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia meninggalkan seorang istri yang masih sangat muda dan dua anak.

Taleb diminta ayahnya pergi ke hutan untuk membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut tewas bersama Taleb adalah Sulaiman Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang Lhee, Pidie, yang merupakan seorang pemimpin NLF cukup brilian. Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung untuk satu misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjata saat diserang. Sulaiman meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga anak.

Pelantikan kabinet Meskipun kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976 dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru Aceh, tapi mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat. Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama hampir setahun.

Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik para menteri yang terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang bertepatan dengan hari pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25 tahun "mengembara" di AS. Hanya dua orang yang tidak berada di tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Diputuskan juga tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab lokasi itu dekat dengan sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat diperoleh secara mudah.

Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat cocok bagi sebuah acara pelantikan.

Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp dihias dengan berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar kenegaraan. Daging, beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan makanan lain dipasok secara besar-berasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari desa pinggiran sibuk membuat kue-kue. Tak ada rahasia tentang acara pengambilan sumpah para menteri.

Hari yang bersejarah itu pun tiba. Setelah dua jam berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro tiba di Kamp Lhok Nilam. Segala persiapan sangat sempurna. Di "pintu utama" terpampang kalimat "Selamat Datang Wali Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut.

Podium utama terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di utara, terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar belakang Gunung Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan (sebelah timur) terdapat batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas ketika ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.

Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan makanan siap disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa terdekatlah yang membawa semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak. "Saya belum pernah menikmati makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun di dunia ini. Tidak juga ketika saya berada di Maxim Paris atau di Mirabelle London, atau Le Mistral New York," ujarnya.

Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat. Acara dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang menteri yang sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Tengku Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga konstitusi Aceh Sumatera."

Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi Menteri Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap Menteri Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah, Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir Mahmud, Menteri Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan Panglima Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.

Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang dipimpin Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan bintang bergaris hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara azan oleh seorang muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat NLF berdiri di belakang podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam lengkap. "Saya tidak pernah melihat orang-orang saya lengkap seperti ini sebelumnya. Saya sangat bangga kepada mereka," tulis Hasan Tiro.

Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh menyampaikan pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube. Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta berkah dari para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air mata setiap orang pun tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro tampil sebagai pembicara terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan pengikutnya. Air matanya tumpah. Ia tahu semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat perjuangan yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling dalam terbetik satu tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada orang-orang saya!".

(Bersambung)

0 komentar :

Posting Komentar