Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (1)

HARI itu, 4 September 1976. Satu pesawat meninggalkan New York, Amerika Serikat (AS). Seorang penumpangnya adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Penerbangan itu menempuh rute Seattle - Tokyo - Hongkong, dan wilayah-wilayah Asia Selatan lainnya. Itulah perjalanan yang membawa Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk mewujudkan impiannya, "Memimpin rakyat dan negara saya". Dalam pesawat, pikiran Hasan Tiro menerawang jauh. Namun, ia pun dapat melupakan semua kemewahan di tempat "pengasingan". Anak satu-satunya dan istri tercinta yang cantik jelita, dengan berat hati harus berpisah.

Meski pun berada dalam pengintaian pemerintah Indonesia, selama di AS, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis. Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ia mengecualikan Indonesia. Ia menghindar berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS. Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerjasama dengan beberapa perusahan itu.

Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.

Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi. Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.

Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik. Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu. Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera. Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka. Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.

Pesawat terus membawa Hasan Tiro semakin dekat dengan Aceh. Ia teringat mati ketika melongo ke bawah. Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa, tapi belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.

Lalu, pikirannya teringat akan musibah yang pernah dialaminya. Suatu ketika di puncak Pegunungan Rianier, jet berkapasitas empat orang mesinnya tiba-tiba mati mendadak. Hasan Tiro dan rekan bisnisnya, DC, duduk di depan. Di bagian belakang duduk VDL dan MP. DC adalah pemilik perusahaan pesawat terbesar di dunia kala itu. Ia juga mantan pilot yang sangat handal.

Tujuan perjalanan mereka adalah meneliti satu kawasan di Oregon.

Hasan Tiro berdoa kepada Allah agar ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah. Ia bahkan bernazar. Jika selamat akan segera pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Hasan Tiro dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.

Nazar yang diucapkan Hasan Tiro tidak diurungkannya lagi. Namun yang sangat berat baginya untuk melaksanakan tugas "membebaskan Aceh dari penjajahan" adalah harus meninggalkan keluarganya. Ia harus meninggalkan bocah laki-lakinya semata wayang, Karim, yang saat itu baru berusia enam tahun. Ia juga terpaksa membiarkan istrinya, Dora, kesepian di tengah keramaian Kota New York.

Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemanapun dia pergi, Karim selalu dibawa. Karim mendapat tempat istimewa dalam unfinished diary. Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.

Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun. Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itupun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.

Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting.

Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Hasan Tiro.

Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau. Tapi, kini pesawat telah tiba di sebuah negara Asia, Hasan Tiro mengatur rencana agar dapat masuk ke Aceh. Selama beberapa pekan, ia memantapkan rencananya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.

(Bersambung)

0 komentar :

Posting Komentar