oleh: Rondang Erlina Marpaung di Stockholm - Swedia.
PENGANTAR SEJENAK
Tanggal 1 Mei 2002 - waktu itu jam menunjukkan pukul 12.00 siang waktu Swedia. Saya dan putri saya sudah berada di lapangan Humlegĺrden di Stockholm. Bagi saya hari Buruh Internasional 1 Mei 2002 adalah tahun kenangan yang ke duakalinya (yang pertama tahun 2001) sebagai pengatur dokumenter film dan putri saya Nyala Baceh (Magister sinologi lulusan Universitas Stockholm) , sebagai jurukamera film - berada di tengah-tengah masyarakat Aceh dan berbagai lapisan masyarakat lainnya yang berada di Stockholm -bersama-sama merayakan hari Buruh Inteernasional 1 Mei. Dari Humlegĺrden pk. 14.00 - barisan panjang march sepanjang jalan Kungsgatan menuju dan berkumpul di Norra Bantorget di mana rapat akbar di selenggarakan dan di sana pulalah Perdana Menteri Swedia Göran Person menyambut dan memberikan wejangannya.
Satu Mei kali ini bagi saya agak lain dibandingkan dengan Satu Mei tahun yang lalu. Saya mendengar kabar bahwa ada seorang panglima AGAM akan turut dalam pawai 1 Mei. Naluri profesi saya sebagai jurnalis ( mantan jurnalis Berita Minggu dan Sulindo Suluh Indonesia) langsung menggebu-gebu , tak akan pernah padam dan tak akan seorang pun bisa memadamkannya. Keinginan saya untuk mengetahui dari dekat siapa dia dan mengapa ke Swedia. Ini sebuah fakta dan ini tugas jurnalis dan saya harus mengabadikannya. Saya pernah mengatakan pada salah seorang Aceh yang saya kenal: - Saya sympati pada perjuangan rakyat AAceh. Bukan saja rakyat Aceh juga orang Ambon dan Papua dan orang Dayak yang hutannya sudah di rusak oleh orang pendatang. Saya juga bersimpati pada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi untuk negerinya. Dan saya sudah mengabadikannya dalam sebuah tulisan yang berjudul : "Aku Mau Hidup" dan di muat di Apakabar John MacDougall tahun 1999.
Rombongan demi rombongan para peserta pawai sudah mulai berdatangan. Panitia mencek barisan-barisan yang sudah tiba. Sebab menurut peraturan di Swedia, orang yang mau melakukan kegiatan apapun harus mencatat dan melapor pada kepolisian. Termasuk ketika masyarakat Aceh berdemonstrasi di depan kedutaan RI di Stockholm tahun 2000.
Saya mengangkat telefon genggam saya dan menelepon orang Aceh yang saya kenal yang akan datang bersama panglima Agam itu. - Halo, di mana kalian!" Dari jauh terdengar jawaban: - Kami baru turun dari kereta api. Sebentar lagi kami sampai , kak!
Ternyata Panglima Agam itu sudah sampai dan telah cepat berbaur dengan masyarakat Aceh di lapangan. Bentuk tubuh dan pembawaan Panglima itu benar-benar dia orang lapangan. Tegap dan gesit, cepat bertindak, penuh inisiatif dan ramah. Orang melihat sepintas tidak menduga bahwa dialah panglima Agam yang di kejar-kejar oleh ABRI masa kini.
Di pinggir lapangan dekat jalan - tampak oleh saya mata2 Malek Malek Maahmud berkacamata hitam, dan di dalam lapangan sudah ada beberapa orang dari kelompok itu yang sedang berkeliaran. Wah, nampaknya mereka ingin juga melihat wajah panglima Agam itu, seperti apa dan bagaimana?!? Dibawah ini catatan tentang Guree dan interviu saya dengan Guree Rakhman serta beberapa foto tentang keberadaannya.
Siapakah Panglima Agam ini ?
Nama lengkap mantan panglima itu adalah Abdurrahman Ismail. Sehari-hari masyarakat Aceh memanggil dia Guree (Guru) Rahman. Sebelum menerjunkan diri dalam pasukan AGAM, dia pernah menjadi pegawai negeri sipil di Bagian Pendidikan dan Kebudayaan di kampung asalnya, Lhoksukon - daerah yang kaya gas dan minyak. Salah satu wilayah perang yang penting dalam melawan Belanda di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan besar al. Cut Mutia, dan suaminya Teungku Chik di Tunong, Tgk Chik Paya Bakong, Panglima Latif dan Panglima Nanggroe.
Tahun 1987Guree menjabat Ulee (Kepala) Sagoe Panglima Nanggroe Lhoksukon. Tahun 1992 Guree menjadi Panglima Komando Wilayah Pase. Sebelumnya pada 1990 Guree menjadi Komandan Operasi Daerah Pase, dilantik oleh Perdana Menteri Aceh Merdeka, dr. Muchtar Hasbi (telah gugur) dengan surat pengangkatan dari Tgk Ismail ben Thalib (telah gugur) Kepala Wilayah Pase. Pada tahun itu di bawah komando Guree AGAM berhasil merebut 24 pucuk senjata dari Markas TNI di Buloh Blang Ara, Kecamatan Kota Makmur, Aceh Utara. Pada masa ini Muzakir Manaf, Panglima AGAM yang menggantikan Teungku Abdullah Syafi'i, berada dalam pasukan Guree.
Tahun 1992 Guree ditetapkan sebagai Panglima Komando Wilayah Pase dan bertolak ke Malaysia tahun1995 atas suatu tugas khusus. Guree pernah memimpin satu pasukan gerilya yang menjelajahi kawasan hingga ke Beutong Ateuh dan bertemu di sana dengan Tgk Bantakiyah, yang telah menjadi korban dalam pembunuhan massal oleh Kopassus dan Kostrad. TNI menjadikan Aceh Daerah Operasi Militer yang sangat terkenal kelalimannya. Paling banyak penduduk Aceh terpaksa menyelamatkan diri ke luar negeri, di antaranya seluruh keluarga isteri Guree. Di Malaysia mereka ditangkap sebagai "pendatang haram" dan dijebloskan ke dalam penjara. Atas bantuan kemanusiaan UNHCR dan lobbi MBGAM akhirnya mereka di selamatkan ke Swedia pada bulan Maret 2001.
Pada Hari Buruh Internasional 1 Mei ini, Guree Rahman berbaur bersama dr. H. Husaini Hasan - Ketua MPGAM, Tgk. Daud Paneuk, mantan Panglima/Menteri Pertahanan AGAM dan Yusuf Daud - sekjen MBGAM Eropa, turun ke jalan ikut berpawai massal di ibu kota Swedia, Stockholm.
Panglima Agam ini bertubuh besar kekar bermantel coklat dan berwajah simpatik itu, sambil mengganding anak perempuannya bergerak tegap membawa bendera Aceh Merdeka di deretan paling depan barisan masyarakat Aceh. Saya dan Nyala mengabadikan peristiwa itu menjadi sebuah film dokumenter tentang kegiatan masyarakat Aceh di Swedia.
Guree Rahman , isterinya bersama dua anak perempuannya, seorang anak lekaki yang ke semuanya masih kecil-kecil tidak tinggal di Stockholm. Dia bersama keluarga isterinya dan puluhan pengungsi Aceh lainnya tinggal di Hällefors sebelah barat laut Stockholm, yang jaraknya dari ibu kota Swedia tiga setengah jam bermobil nonstop. Karena itu terpaksa saya dan putri saya mencari kesempatan sesudah 1 Mei untuk mewawancainya sekaligus di rekam di depan kamera video dan saya duduk di sebelah kamera. Hanya suara saya saja yang terdengar. Inilah wawancara itu...
Tanya: Anda ditangkap di Malaysia, kapan dan karena apa?
Jawab: Saya ditangkap oleh polis Malaysia pada 22 November 1999, atas tuduhan penyeludupan senjata api untuk kepentingan GAM. Ternyata tidak benar. Itu semua hanya tuduhan saja. Tapi setelah diperiksa ternyata tidak ada bukti. Itu semua fitnah pihak lain. Saya sempat ditahan sampai dua tahun lebih di bawah akta ISA (Internal Security Act) sebelum saya dibebaskan.
T: Hukuman apa yang dijatuhkan pada Anda?
J: Seperti saya terangkan tadi. Begitulah ceritanya (sambil tertawa geli). Saya tak mendapat hukuman apa-apa. Saya berada di bawah akta ISA. Bukan dijatuhkan hukuman.
T: Bagaimana reaksi pemerintah Indonesia dan TNI?
J: Ya, mereka tentu senang sekali, karena rencana untuk menangkap saya sudah berhasil. Saya sudah ditangkap di Malaysia. Tapi sebaliknya, rancangan TNI sudah gagal. Saya pun sudah selamat di bawah lindungan UNHCR
T: Bagaimana pula reaksi ASNLF dan AGAM, khususnya Wali Nanggroe Hasan di Tiro atas peristiwa itu?
J: Reaksi ASNLF dan AGAM tidak ada bedanya. Begitu diketahuinya saya ditangkap, langsung dikomentari perkara penahanan saya di media Malaysia melalui New Straits Times, Berita Harian, dll pada waktu yang sama. Jubir AGAM ketika itu, Ismail Syahputra, langsung membeberkan kepada surat kabar surat kabar tentang penangkapan saya. Ismail mengatakan kepada Harian Serambi bahwa hukuman yang akan diberikan kepada saya adalah "hukuman gantung mati". Dia langsung menuduh MPGAM tentang kejadian penangkapan saya. Makanya proses pembebasan saya makan waktu yang lama, karena Indonesia sudah mengetahui kejadian itu melalui media massa tersebut, yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tersebut. Itulah sebabnya ketika itu saya susah untuk membebaskan diri. Sebab pemerintah RI sudah mengetahuinya. Tanpa pembocoran dari mereka, pemerintah RI tak mungkin tahu.
T: Bagaimana Anda bisa dibebaskan?
J: Prosesnya memang tidak mudah, memakan waktu sampai dua tahun dua bulan. Ada beberapa faktor bagaimana saya dapat dibebaskan. Pertama, kasus saya ditangani langsung oleh UNCHR di Kuala Lumpur. Kedua, isteri dan anak-anak saya sudah duluan berangkat ke Swedia, kemudian pemerintah Swedia terpaksa mencampuri untuk menangani kasus saya. Ketiga, tidak kurang pentingnya juga bantuan kawan-kawan seperjuangan saya, lobbi-lobbi yang dilakukan MB GAM Eropa, simpati sahabat sahabat saya di Malaysia, dan usaha kemanusiaan dari pemerintah Swedia dan UNHCR.
T: Apa reaksi pemerintah Indonesia dan TNI setelah Anda dibebaskan?
J: Tentu saja mereka sangat kecewa. Mereka telah berkali-kali meminta Malaysia supaya menghantar balik saya ke Indonesia karena saya terlibat dalam GAM. Tapi karena persoalan saya telah ditangani UNCHR dan badan dunia lainnya, juga pemerintah Swedia memberikan bantuan, maka sudah barang pasti Malaysia sulit untuk mengabulkan permintaan Indonesia.
T: Apa reaksi ASNLF dan AGAM di luar negeri dan di Aceh setelah Anda dibebaskan?
J: Kawan-kawan saya seperjuangan mulai dari Aceh sampai ke Malaysia, Australia, Amerika dan Eropa senang sekali mendengar khabar baik itu. Melalui telifon di rumah, HP, E-mails mereka mengontak langsung saya, menyampaikan syukurnya kepada Allah dan mengucapkan tahniah (selamat) atas pembebasan saya, juga menanyakan khabar dan kesehatan saya. Di Swedia saya dipeusijuek (upacara selamatan) di Meunasah Aceh di Fittja, Stockholm. Tapi ada juga pihak-pihak tertentu yang menginginkan sebaliknya.
T: Anda kontak juga Wali Negara Hasan di Tiro setelah tiba di Swedia?
J: Pada hari kedua saya di bumi Swedia (23 Maret 2002) yang bertutup salju waktu itu, langsung mengontak Wali dengan telifon. Beliau gembira, mengatakan ingin bertemu dan berjanji akan menyuruh seseorang menjemput saya di Hällefors. Dia minta nomor telifon saya. Tetapi berkali-kali saya eja nomornya, tetap tidak mampu mencatat. Dari pembicaraan dengannya sekitar setengah jam, terasa keadaannya tidak begitu sehat. Saya nantikan jemputan itu tidak kunjung tiba. Saya usul biar saya datang sendiri ke rumahnya. Katanya mesti melalui dokter Zaini Abdullah.
Saya pergi ke Stockholm untuk menjumpainya. Waktu itu saya dibawa oleh dokter Husaini Hasan ke satu tempat. Dia tunjukkan pada saya dokter Zaini Abdullah dengan isterinya sedang berjalan. Dia berhentikan mobilnya dan saya turun mobil, terus mendatangi dokter Zaini. Sesuai dengan usul Wali Negara, saya minta agar saya dan isteri saya dipertemukannya dengan Wali. Tetapi Menteri Kesehatan ASNLF yang masih famili Wali Negara itu menolak. Saya tidak diizinkannya menemui WaliNegara. Itu berarti Wali sudah di bawah kontrol orang-orang sekitarnya.
T: Mengapa Anda ikut berpawai merayakan 1 Mei, padahal itu dilarang di Indonesia termasuk di Aceh?
J: Ya, itu di Indonesia, tapi kan nggak di Swedia ini? Saya ingat, Swedia ini kan negara demokratis! Di sini diterima berbagai bangsa, dilindungi hak mereka memperjuangkan kepentingan dan kemerdekaannya. Di sini ada hak kebebasan rakyat. Di Indonesia yang ada kekerasan negara. Tidak ada demokrasi, tidak ada hak rakyat bersuara. Satu Mei itu kan Hari Raya rakyat pekerja? Kami berjuang untuk rakyat pekerja yang sekarang dianiaya oleh alat negara RI.
T: Mengapa Anda berpawai dalam barisan yang dipimpin dr. Husaini, Teungku Daud Paneuk dan Yusuf Daud?
J: Pertama, masalah itu telah saya pelajari dan lihat langsung dengan mata saya sendiri bahwa tidak ada kumpulan Aceh yang lain di Swedia yang melaksanakan pawai satu Mei. Kedua, kumpulan Aceh yang mereka pimpin itu mewakili lebih dari 75% rakyat Aceh yang ada di Swedia. Ketiga, saya juga telah mempelajari bahwa ketiga-tiga pemimpin ini merupakan senior senior GAM yang masih tetap berjuang untuk rakyat dan bangsa Aceh, walaupun ada pihak-pihak yang menyebarkan fitnah mengatakan sebaliknya untuk mengusir mereka dari perjuangan itu. Keempat, saya menilai pemimpin-pemimpin yang dikatakan mewakili MP/MB GAM khususnya di luar Aceh, memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyuarakan jeritan rakyat Aceh dan memajukan perjuangan Aceh di luar negeri. Mereka pejuang-pejuang profesional dan orang-orang berkarisma sejak dari 1976 bersama Hasan di Tiro dan masih di bawah bendera yang sama. Tidak mereka tukar bendera Aceh Merdeka itu. Saya mendarat di Swedia karena bendera itu. Saya berbaris bersama mereka, karena mereka masih kawan-kawan saya dulu, masih berjuang untuk tujuan kemerdekaan Aceh. Saya tahu yang mana intan, yang mana kaca. Saya tahu Wali Negara sudah tua. Tapi saya tidak mau menyebarkan fitnah.
T: Dari begitu banyak semboyan diangkat dalam pawai Aceh kali ini, ada yang menyangkut masalah otonomi Nanggroe Aceh Darussalam atau NAD. Apa pendapat Anda tentang itu?
J: Itu menarik sekali. Supaya dunia luar bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh regim Indonesia di Aceh. Supaya masyarakat dunia membaca semboyan dan tuntutan adil bangsa Aceh yang diangkat barisan tersebut. Yang tertulis itu jeritan bangsa Aceh. Sebab kekejaman yang dilakukan TNI di Aceh tak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan menurut yang tertulis dalam Pancasila sebagai dasar negara RI. Aparat negara RI membunuh, membakar, merompak, memperkosa, menganiaya dan kebiadaban lainnya. Itu tidak sesuai dengan Pancasila. Itu bukan perbuatan manusia dan tak dapat diterima oleh rasa kemanusiaan dan keadilan internasional. Karena itu Aceh harus lepas dari RI. Harus pisah dari RI.
T: Tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh apa komentar Anda?
J: Pelaksanaan Syariah Islam merupakan tipu-daya RI yang paling licik untuk mengalihkan perkara yang sebenarnya yang sedang terjadi di Aceh. RI ingin memberi kesan kepada dunia internasional seakan-akan yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh sekarang adalah "Syariah Islam" dan orang Aceh dapat dilabelkan sebagai Islam fundamentalis. Perlu diketahui bahwa Islam sudah lebih seribu tahun tegak di Aceh. Islam dan Aceh itu satu - tidak dapat dipisah-pisahkan. Hidup dan seluruh kehidupan di Aceh diatur oleh Islam dan dinilai secara Islami. Walaupun demikian, Aceh tidak pernah tergolong ke dalam Islam fundamentalis, sebab orang Aceh sangat tolerans dan sangat menghormati penganut-penganut kepercayaan lain. Oleh sebab itu orang Aceh tidak perlu mengimpor "syariat Islam" dari Batavia. Yang sesuai diimpor Aceh dari Jakarta adalah tahu dan tempe, sebab orang Aceh tidak tahu membuat tahu dan tempe. Lagi pula persoalan Aceh sekarang adalah persoalan politik semata-mata yang wajib diselesaikan dengan politik juga - bukan dengan "syariat Islam Gaduungan" ala Jakarta.
T: Bagaimana pendapat Anda tentang perundingan Jenewa antara ASNLF dan RI?
J: Perundingan memang diperlukan dan ianya merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Tetapi kalau kita meninjau kembali semua kesepakatan yang telah disepakati oleh RI dan ASNLF sejak mulai perundingan Mei tahun lalu sungguh sangat disesalkan. Sebab, semua kesepakatan yang dilakukan di Jenewa itu tidak ada pengaruh sedikit pun di lapangan dan tidak pernah mengurangi penderitaan rakyat. Malah korban di sana, korban di sini. Pembunuhan di sana, pembunuhan di sini. Di Jenewa tengah berbincang, di Aceh tengah dilakukan pembunuhan. Apalagi pembicaraan di Jenewa tertutup. Perundingan tak boleh tertutup. Masalah Aceh adalah masalah internasional, bukan masalah dalaman (internal) Aceh, juga bukan masalah internal Indonesia. Tak boleh kami terima tertutup. Perundingan Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka dengan mereka saja, antara RI dengan ASNLF. Tidak mengena apapun bagi bagi rakyat Aceh. Jadi semua perjanjian di Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka (RI) dengan mereka (ASNLF) - tidak kena mengena dengan apa yang dihadapi oleh rakyat Aceh.
Kalau dilihat dengan teliti dan seksama prosesnya perjanjian Jenewa, maka jelas kepada siapa pun bahwa semua proses itu didikte dan ditentukan oleh RI, sedangkan ASNLF tinggal ikut saja. RI-lah yang menentukan segala-galanya: kapan sidang itu diadakan, agenda apa akan dibawa, siapa pemerhati yang akan diundang dan kalau perlu RI boleh menunda (mempermain-mainkan) atau membatalkan pertemuan-pertemuan yang telah ditetapkan dengan sesuka hatinya tanpa harus berkonsultasi dengan ASNLF. Inilah cara-cara RI memperalat ASNLF dan mempermain-mainkan nyawa rakyat Aceh semata-mata, supaya kejahatan regim Jakarta dan TNI di Aceh merompak, membunuh, kekejaman lainnya yang telah dilakukan berpuluh tahun tidak tampak.
PENGANTAR SEJENAK
Tanggal 1 Mei 2002 - waktu itu jam menunjukkan pukul 12.00 siang waktu Swedia. Saya dan putri saya sudah berada di lapangan Humlegĺrden di Stockholm. Bagi saya hari Buruh Internasional 1 Mei 2002 adalah tahun kenangan yang ke duakalinya (yang pertama tahun 2001) sebagai pengatur dokumenter film dan putri saya Nyala Baceh (Magister sinologi lulusan Universitas Stockholm) , sebagai jurukamera film - berada di tengah-tengah masyarakat Aceh dan berbagai lapisan masyarakat lainnya yang berada di Stockholm -bersama-sama merayakan hari Buruh Inteernasional 1 Mei. Dari Humlegĺrden pk. 14.00 - barisan panjang march sepanjang jalan Kungsgatan menuju dan berkumpul di Norra Bantorget di mana rapat akbar di selenggarakan dan di sana pulalah Perdana Menteri Swedia Göran Person menyambut dan memberikan wejangannya.
Satu Mei kali ini bagi saya agak lain dibandingkan dengan Satu Mei tahun yang lalu. Saya mendengar kabar bahwa ada seorang panglima AGAM akan turut dalam pawai 1 Mei. Naluri profesi saya sebagai jurnalis ( mantan jurnalis Berita Minggu dan Sulindo Suluh Indonesia) langsung menggebu-gebu , tak akan pernah padam dan tak akan seorang pun bisa memadamkannya. Keinginan saya untuk mengetahui dari dekat siapa dia dan mengapa ke Swedia. Ini sebuah fakta dan ini tugas jurnalis dan saya harus mengabadikannya. Saya pernah mengatakan pada salah seorang Aceh yang saya kenal: - Saya sympati pada perjuangan rakyat AAceh. Bukan saja rakyat Aceh juga orang Ambon dan Papua dan orang Dayak yang hutannya sudah di rusak oleh orang pendatang. Saya juga bersimpati pada gerakan mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi untuk negerinya. Dan saya sudah mengabadikannya dalam sebuah tulisan yang berjudul : "Aku Mau Hidup" dan di muat di Apakabar John MacDougall tahun 1999.
Rombongan demi rombongan para peserta pawai sudah mulai berdatangan. Panitia mencek barisan-barisan yang sudah tiba. Sebab menurut peraturan di Swedia, orang yang mau melakukan kegiatan apapun harus mencatat dan melapor pada kepolisian. Termasuk ketika masyarakat Aceh berdemonstrasi di depan kedutaan RI di Stockholm tahun 2000.
Saya mengangkat telefon genggam saya dan menelepon orang Aceh yang saya kenal yang akan datang bersama panglima Agam itu. - Halo, di mana kalian!" Dari jauh terdengar jawaban: - Kami baru turun dari kereta api. Sebentar lagi kami sampai , kak!
Ternyata Panglima Agam itu sudah sampai dan telah cepat berbaur dengan masyarakat Aceh di lapangan. Bentuk tubuh dan pembawaan Panglima itu benar-benar dia orang lapangan. Tegap dan gesit, cepat bertindak, penuh inisiatif dan ramah. Orang melihat sepintas tidak menduga bahwa dialah panglima Agam yang di kejar-kejar oleh ABRI masa kini.
Di pinggir lapangan dekat jalan - tampak oleh saya mata2 Malek Malek Maahmud berkacamata hitam, dan di dalam lapangan sudah ada beberapa orang dari kelompok itu yang sedang berkeliaran. Wah, nampaknya mereka ingin juga melihat wajah panglima Agam itu, seperti apa dan bagaimana?!? Dibawah ini catatan tentang Guree dan interviu saya dengan Guree Rakhman serta beberapa foto tentang keberadaannya.
Siapakah Panglima Agam ini ?
Nama lengkap mantan panglima itu adalah Abdurrahman Ismail. Sehari-hari masyarakat Aceh memanggil dia Guree (Guru) Rahman. Sebelum menerjunkan diri dalam pasukan AGAM, dia pernah menjadi pegawai negeri sipil di Bagian Pendidikan dan Kebudayaan di kampung asalnya, Lhoksukon - daerah yang kaya gas dan minyak. Salah satu wilayah perang yang penting dalam melawan Belanda di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan besar al. Cut Mutia, dan suaminya Teungku Chik di Tunong, Tgk Chik Paya Bakong, Panglima Latif dan Panglima Nanggroe.
Tahun 1987Guree menjabat Ulee (Kepala) Sagoe Panglima Nanggroe Lhoksukon. Tahun 1992 Guree menjadi Panglima Komando Wilayah Pase. Sebelumnya pada 1990 Guree menjadi Komandan Operasi Daerah Pase, dilantik oleh Perdana Menteri Aceh Merdeka, dr. Muchtar Hasbi (telah gugur) dengan surat pengangkatan dari Tgk Ismail ben Thalib (telah gugur) Kepala Wilayah Pase. Pada tahun itu di bawah komando Guree AGAM berhasil merebut 24 pucuk senjata dari Markas TNI di Buloh Blang Ara, Kecamatan Kota Makmur, Aceh Utara. Pada masa ini Muzakir Manaf, Panglima AGAM yang menggantikan Teungku Abdullah Syafi'i, berada dalam pasukan Guree.
Tahun 1992 Guree ditetapkan sebagai Panglima Komando Wilayah Pase dan bertolak ke Malaysia tahun1995 atas suatu tugas khusus. Guree pernah memimpin satu pasukan gerilya yang menjelajahi kawasan hingga ke Beutong Ateuh dan bertemu di sana dengan Tgk Bantakiyah, yang telah menjadi korban dalam pembunuhan massal oleh Kopassus dan Kostrad. TNI menjadikan Aceh Daerah Operasi Militer yang sangat terkenal kelalimannya. Paling banyak penduduk Aceh terpaksa menyelamatkan diri ke luar negeri, di antaranya seluruh keluarga isteri Guree. Di Malaysia mereka ditangkap sebagai "pendatang haram" dan dijebloskan ke dalam penjara. Atas bantuan kemanusiaan UNHCR dan lobbi MBGAM akhirnya mereka di selamatkan ke Swedia pada bulan Maret 2001.
Pada Hari Buruh Internasional 1 Mei ini, Guree Rahman berbaur bersama dr. H. Husaini Hasan - Ketua MPGAM, Tgk. Daud Paneuk, mantan Panglima/Menteri Pertahanan AGAM dan Yusuf Daud - sekjen MBGAM Eropa, turun ke jalan ikut berpawai massal di ibu kota Swedia, Stockholm.
Panglima Agam ini bertubuh besar kekar bermantel coklat dan berwajah simpatik itu, sambil mengganding anak perempuannya bergerak tegap membawa bendera Aceh Merdeka di deretan paling depan barisan masyarakat Aceh. Saya dan Nyala mengabadikan peristiwa itu menjadi sebuah film dokumenter tentang kegiatan masyarakat Aceh di Swedia.
Guree Rahman , isterinya bersama dua anak perempuannya, seorang anak lekaki yang ke semuanya masih kecil-kecil tidak tinggal di Stockholm. Dia bersama keluarga isterinya dan puluhan pengungsi Aceh lainnya tinggal di Hällefors sebelah barat laut Stockholm, yang jaraknya dari ibu kota Swedia tiga setengah jam bermobil nonstop. Karena itu terpaksa saya dan putri saya mencari kesempatan sesudah 1 Mei untuk mewawancainya sekaligus di rekam di depan kamera video dan saya duduk di sebelah kamera. Hanya suara saya saja yang terdengar. Inilah wawancara itu...
Tanya: Anda ditangkap di Malaysia, kapan dan karena apa?
Jawab: Saya ditangkap oleh polis Malaysia pada 22 November 1999, atas tuduhan penyeludupan senjata api untuk kepentingan GAM. Ternyata tidak benar. Itu semua hanya tuduhan saja. Tapi setelah diperiksa ternyata tidak ada bukti. Itu semua fitnah pihak lain. Saya sempat ditahan sampai dua tahun lebih di bawah akta ISA (Internal Security Act) sebelum saya dibebaskan.
T: Hukuman apa yang dijatuhkan pada Anda?
J: Seperti saya terangkan tadi. Begitulah ceritanya (sambil tertawa geli). Saya tak mendapat hukuman apa-apa. Saya berada di bawah akta ISA. Bukan dijatuhkan hukuman.
T: Bagaimana reaksi pemerintah Indonesia dan TNI?
J: Ya, mereka tentu senang sekali, karena rencana untuk menangkap saya sudah berhasil. Saya sudah ditangkap di Malaysia. Tapi sebaliknya, rancangan TNI sudah gagal. Saya pun sudah selamat di bawah lindungan UNHCR
T: Bagaimana pula reaksi ASNLF dan AGAM, khususnya Wali Nanggroe Hasan di Tiro atas peristiwa itu?
J: Reaksi ASNLF dan AGAM tidak ada bedanya. Begitu diketahuinya saya ditangkap, langsung dikomentari perkara penahanan saya di media Malaysia melalui New Straits Times, Berita Harian, dll pada waktu yang sama. Jubir AGAM ketika itu, Ismail Syahputra, langsung membeberkan kepada surat kabar surat kabar tentang penangkapan saya. Ismail mengatakan kepada Harian Serambi bahwa hukuman yang akan diberikan kepada saya adalah "hukuman gantung mati". Dia langsung menuduh MPGAM tentang kejadian penangkapan saya. Makanya proses pembebasan saya makan waktu yang lama, karena Indonesia sudah mengetahui kejadian itu melalui media massa tersebut, yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tersebut. Itulah sebabnya ketika itu saya susah untuk membebaskan diri. Sebab pemerintah RI sudah mengetahuinya. Tanpa pembocoran dari mereka, pemerintah RI tak mungkin tahu.
T: Bagaimana Anda bisa dibebaskan?
J: Prosesnya memang tidak mudah, memakan waktu sampai dua tahun dua bulan. Ada beberapa faktor bagaimana saya dapat dibebaskan. Pertama, kasus saya ditangani langsung oleh UNCHR di Kuala Lumpur. Kedua, isteri dan anak-anak saya sudah duluan berangkat ke Swedia, kemudian pemerintah Swedia terpaksa mencampuri untuk menangani kasus saya. Ketiga, tidak kurang pentingnya juga bantuan kawan-kawan seperjuangan saya, lobbi-lobbi yang dilakukan MB GAM Eropa, simpati sahabat sahabat saya di Malaysia, dan usaha kemanusiaan dari pemerintah Swedia dan UNHCR.
T: Apa reaksi pemerintah Indonesia dan TNI setelah Anda dibebaskan?
J: Tentu saja mereka sangat kecewa. Mereka telah berkali-kali meminta Malaysia supaya menghantar balik saya ke Indonesia karena saya terlibat dalam GAM. Tapi karena persoalan saya telah ditangani UNCHR dan badan dunia lainnya, juga pemerintah Swedia memberikan bantuan, maka sudah barang pasti Malaysia sulit untuk mengabulkan permintaan Indonesia.
T: Apa reaksi ASNLF dan AGAM di luar negeri dan di Aceh setelah Anda dibebaskan?
J: Kawan-kawan saya seperjuangan mulai dari Aceh sampai ke Malaysia, Australia, Amerika dan Eropa senang sekali mendengar khabar baik itu. Melalui telifon di rumah, HP, E-mails mereka mengontak langsung saya, menyampaikan syukurnya kepada Allah dan mengucapkan tahniah (selamat) atas pembebasan saya, juga menanyakan khabar dan kesehatan saya. Di Swedia saya dipeusijuek (upacara selamatan) di Meunasah Aceh di Fittja, Stockholm. Tapi ada juga pihak-pihak tertentu yang menginginkan sebaliknya.
T: Anda kontak juga Wali Negara Hasan di Tiro setelah tiba di Swedia?
J: Pada hari kedua saya di bumi Swedia (23 Maret 2002) yang bertutup salju waktu itu, langsung mengontak Wali dengan telifon. Beliau gembira, mengatakan ingin bertemu dan berjanji akan menyuruh seseorang menjemput saya di Hällefors. Dia minta nomor telifon saya. Tetapi berkali-kali saya eja nomornya, tetap tidak mampu mencatat. Dari pembicaraan dengannya sekitar setengah jam, terasa keadaannya tidak begitu sehat. Saya nantikan jemputan itu tidak kunjung tiba. Saya usul biar saya datang sendiri ke rumahnya. Katanya mesti melalui dokter Zaini Abdullah.
Saya pergi ke Stockholm untuk menjumpainya. Waktu itu saya dibawa oleh dokter Husaini Hasan ke satu tempat. Dia tunjukkan pada saya dokter Zaini Abdullah dengan isterinya sedang berjalan. Dia berhentikan mobilnya dan saya turun mobil, terus mendatangi dokter Zaini. Sesuai dengan usul Wali Negara, saya minta agar saya dan isteri saya dipertemukannya dengan Wali. Tetapi Menteri Kesehatan ASNLF yang masih famili Wali Negara itu menolak. Saya tidak diizinkannya menemui WaliNegara. Itu berarti Wali sudah di bawah kontrol orang-orang sekitarnya.
T: Mengapa Anda ikut berpawai merayakan 1 Mei, padahal itu dilarang di Indonesia termasuk di Aceh?
J: Ya, itu di Indonesia, tapi kan nggak di Swedia ini? Saya ingat, Swedia ini kan negara demokratis! Di sini diterima berbagai bangsa, dilindungi hak mereka memperjuangkan kepentingan dan kemerdekaannya. Di sini ada hak kebebasan rakyat. Di Indonesia yang ada kekerasan negara. Tidak ada demokrasi, tidak ada hak rakyat bersuara. Satu Mei itu kan Hari Raya rakyat pekerja? Kami berjuang untuk rakyat pekerja yang sekarang dianiaya oleh alat negara RI.
T: Mengapa Anda berpawai dalam barisan yang dipimpin dr. Husaini, Teungku Daud Paneuk dan Yusuf Daud?
J: Pertama, masalah itu telah saya pelajari dan lihat langsung dengan mata saya sendiri bahwa tidak ada kumpulan Aceh yang lain di Swedia yang melaksanakan pawai satu Mei. Kedua, kumpulan Aceh yang mereka pimpin itu mewakili lebih dari 75% rakyat Aceh yang ada di Swedia. Ketiga, saya juga telah mempelajari bahwa ketiga-tiga pemimpin ini merupakan senior senior GAM yang masih tetap berjuang untuk rakyat dan bangsa Aceh, walaupun ada pihak-pihak yang menyebarkan fitnah mengatakan sebaliknya untuk mengusir mereka dari perjuangan itu. Keempat, saya menilai pemimpin-pemimpin yang dikatakan mewakili MP/MB GAM khususnya di luar Aceh, memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyuarakan jeritan rakyat Aceh dan memajukan perjuangan Aceh di luar negeri. Mereka pejuang-pejuang profesional dan orang-orang berkarisma sejak dari 1976 bersama Hasan di Tiro dan masih di bawah bendera yang sama. Tidak mereka tukar bendera Aceh Merdeka itu. Saya mendarat di Swedia karena bendera itu. Saya berbaris bersama mereka, karena mereka masih kawan-kawan saya dulu, masih berjuang untuk tujuan kemerdekaan Aceh. Saya tahu yang mana intan, yang mana kaca. Saya tahu Wali Negara sudah tua. Tapi saya tidak mau menyebarkan fitnah.
T: Dari begitu banyak semboyan diangkat dalam pawai Aceh kali ini, ada yang menyangkut masalah otonomi Nanggroe Aceh Darussalam atau NAD. Apa pendapat Anda tentang itu?
J: Itu menarik sekali. Supaya dunia luar bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh regim Indonesia di Aceh. Supaya masyarakat dunia membaca semboyan dan tuntutan adil bangsa Aceh yang diangkat barisan tersebut. Yang tertulis itu jeritan bangsa Aceh. Sebab kekejaman yang dilakukan TNI di Aceh tak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan menurut yang tertulis dalam Pancasila sebagai dasar negara RI. Aparat negara RI membunuh, membakar, merompak, memperkosa, menganiaya dan kebiadaban lainnya. Itu tidak sesuai dengan Pancasila. Itu bukan perbuatan manusia dan tak dapat diterima oleh rasa kemanusiaan dan keadilan internasional. Karena itu Aceh harus lepas dari RI. Harus pisah dari RI.
T: Tentang pelaksanaan Syariah Islam di Aceh apa komentar Anda?
J: Pelaksanaan Syariah Islam merupakan tipu-daya RI yang paling licik untuk mengalihkan perkara yang sebenarnya yang sedang terjadi di Aceh. RI ingin memberi kesan kepada dunia internasional seakan-akan yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh sekarang adalah "Syariah Islam" dan orang Aceh dapat dilabelkan sebagai Islam fundamentalis. Perlu diketahui bahwa Islam sudah lebih seribu tahun tegak di Aceh. Islam dan Aceh itu satu - tidak dapat dipisah-pisahkan. Hidup dan seluruh kehidupan di Aceh diatur oleh Islam dan dinilai secara Islami. Walaupun demikian, Aceh tidak pernah tergolong ke dalam Islam fundamentalis, sebab orang Aceh sangat tolerans dan sangat menghormati penganut-penganut kepercayaan lain. Oleh sebab itu orang Aceh tidak perlu mengimpor "syariat Islam" dari Batavia. Yang sesuai diimpor Aceh dari Jakarta adalah tahu dan tempe, sebab orang Aceh tidak tahu membuat tahu dan tempe. Lagi pula persoalan Aceh sekarang adalah persoalan politik semata-mata yang wajib diselesaikan dengan politik juga - bukan dengan "syariat Islam Gaduungan" ala Jakarta.
T: Bagaimana pendapat Anda tentang perundingan Jenewa antara ASNLF dan RI?
J: Perundingan memang diperlukan dan ianya merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Tetapi kalau kita meninjau kembali semua kesepakatan yang telah disepakati oleh RI dan ASNLF sejak mulai perundingan Mei tahun lalu sungguh sangat disesalkan. Sebab, semua kesepakatan yang dilakukan di Jenewa itu tidak ada pengaruh sedikit pun di lapangan dan tidak pernah mengurangi penderitaan rakyat. Malah korban di sana, korban di sini. Pembunuhan di sana, pembunuhan di sini. Di Jenewa tengah berbincang, di Aceh tengah dilakukan pembunuhan. Apalagi pembicaraan di Jenewa tertutup. Perundingan tak boleh tertutup. Masalah Aceh adalah masalah internasional, bukan masalah dalaman (internal) Aceh, juga bukan masalah internal Indonesia. Tak boleh kami terima tertutup. Perundingan Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka dengan mereka saja, antara RI dengan ASNLF. Tidak mengena apapun bagi bagi rakyat Aceh. Jadi semua perjanjian di Jenewa merupakan kesepakatan antara mereka (RI) dengan mereka (ASNLF) - tidak kena mengena dengan apa yang dihadapi oleh rakyat Aceh.
Kalau dilihat dengan teliti dan seksama prosesnya perjanjian Jenewa, maka jelas kepada siapa pun bahwa semua proses itu didikte dan ditentukan oleh RI, sedangkan ASNLF tinggal ikut saja. RI-lah yang menentukan segala-galanya: kapan sidang itu diadakan, agenda apa akan dibawa, siapa pemerhati yang akan diundang dan kalau perlu RI boleh menunda (mempermain-mainkan) atau membatalkan pertemuan-pertemuan yang telah ditetapkan dengan sesuka hatinya tanpa harus berkonsultasi dengan ASNLF. Inilah cara-cara RI memperalat ASNLF dan mempermain-mainkan nyawa rakyat Aceh semata-mata, supaya kejahatan regim Jakarta dan TNI di Aceh merompak, membunuh, kekejaman lainnya yang telah dilakukan berpuluh tahun tidak tampak.
T: Apa pesan Anda kepada rakyat dan GAM/AGAM di Aceh?
J: Pesan saya singkat saja. Perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan Aceh wajib diteruskan, walau dalam keadaan apa pun. Pendudukan, kekejaman dan kebiadaban TNI atas Aceh wajib dilawan dengan kekuatan dan cara apa saja yang ada pada kita. Seluruh bangsa Aceh, GAM-AGAM, mahasiswa, ulama, kaum birokrat, petani, dan lain-lain, di mana saja berada, mari satukan misi dan visi kita untuk menegakkan kembali kedaulatan dan kemerdekaan kita bangsa Aceh yang tengah dijajah regimJakarta. Kemerdekaan itu mustahil kita dapati dengan cara mudah. Kita harus korbankan jiwa raga kita, korbankan harta, korbankan darah, tenaga dan sebagainya seperti Endatu bangsa Aceh dulu melawan Belanda, melawan Jepang. Itu semua kesinambungan perjuangan hari ini yang tidak boleh terpisah dari jiwa kita. Musuh kita harus kita lawan. Kita ingin merdeka. Begitu juga harapan saya kepada pemuda-pemudi Aceh supaya bekali dirimu dengan pendidikan, berbagai ilmu pengetahuan yang sesuai dengan perjuangan menentang kelaliman, kejahatan dan penjajahan supaya cucu, cicit kita tidak akan menderita seperti kita sekarang ini. Tanpa ilmu, kita akan terus diperbodohkan, dipermain-mainkan nyawa bangsa kita oleh RI di bawah slogan kosong "NAD", "syariat Islam", "Otsus" dll. Kita harus siap sedia menghadapi segalanya itu, sebab tipu daya Jakarta sekarang atas rakyat Aceh sudah kali pertama, kedua dan ketiga. Sekali ini jangan tertipu lagi. Sekali merdeka tetap merdeka. Kita ingin merdeka. Menegakkan negara kesinambungan Aceh. Sinambung dari nenek-nenek kita sampai sekarang. Bendera Aceh kita akan kita kibarkan kembali di Aceh kita. ***
J: Pesan saya singkat saja. Perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan Aceh wajib diteruskan, walau dalam keadaan apa pun. Pendudukan, kekejaman dan kebiadaban TNI atas Aceh wajib dilawan dengan kekuatan dan cara apa saja yang ada pada kita. Seluruh bangsa Aceh, GAM-AGAM, mahasiswa, ulama, kaum birokrat, petani, dan lain-lain, di mana saja berada, mari satukan misi dan visi kita untuk menegakkan kembali kedaulatan dan kemerdekaan kita bangsa Aceh yang tengah dijajah regimJakarta. Kemerdekaan itu mustahil kita dapati dengan cara mudah. Kita harus korbankan jiwa raga kita, korbankan harta, korbankan darah, tenaga dan sebagainya seperti Endatu bangsa Aceh dulu melawan Belanda, melawan Jepang. Itu semua kesinambungan perjuangan hari ini yang tidak boleh terpisah dari jiwa kita. Musuh kita harus kita lawan. Kita ingin merdeka. Begitu juga harapan saya kepada pemuda-pemudi Aceh supaya bekali dirimu dengan pendidikan, berbagai ilmu pengetahuan yang sesuai dengan perjuangan menentang kelaliman, kejahatan dan penjajahan supaya cucu, cicit kita tidak akan menderita seperti kita sekarang ini. Tanpa ilmu, kita akan terus diperbodohkan, dipermain-mainkan nyawa bangsa kita oleh RI di bawah slogan kosong "NAD", "syariat Islam", "Otsus" dll. Kita harus siap sedia menghadapi segalanya itu, sebab tipu daya Jakarta sekarang atas rakyat Aceh sudah kali pertama, kedua dan ketiga. Sekali ini jangan tertipu lagi. Sekali merdeka tetap merdeka. Kita ingin merdeka. Menegakkan negara kesinambungan Aceh. Sinambung dari nenek-nenek kita sampai sekarang. Bendera Aceh kita akan kita kibarkan kembali di Aceh kita. ***
0 komentar :
Posting Komentar