Tampilkan postingan dengan label Hasan Tiro. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hasan Tiro. Tampilkan semua postingan

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (3)



DALAM sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usaha-usaha penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21 Oktober 1975 menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya di Asia Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas alam terkaya di dunia." Jurnal itu juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah menawarkan 37 persen konsesi Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada pemerintah Jepang. Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak melibatkan orang Aceh yang memiliki kekayaan alam itu.

"Rakyat Aceh menjadi terasing di negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah hal semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam catatan hariannya.

Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan Nasional (National Liberation Front Acheh Sumatera = NLFAS) di "Propinsi Pase", tempat Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan lembut" dengan show of force di dekat Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak.

Dalam aksinya, pasukan NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi keselamatan mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang dari Mobil dan Bechtel agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat kembali lagi nanti kalau suatu saat Aceh sudah merdeka," demikian bunyi seruan yang disebarluaskan.

Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir jalan raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.

Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya "pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para penyuplai makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS-- dengan seseorang. Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku!"

Masalahnya adalah pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya. "Tidak! Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi.

Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat ke tanah dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja sepanjang hari yang cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan pakaian hijau dan pistol tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro.

Lalu, ia meminta pengawal untuk membawa orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk tergesa-gesa dan langsung mencium tangan Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya Taleb Abu Mae (Ismail). Air matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok sehari sebelumnya dan tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro. Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu merupakan pertemuan yang sangat bermakna.

Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae tewas diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia meninggalkan seorang istri yang masih sangat muda dan dua anak.

Taleb diminta ayahnya pergi ke hutan untuk membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut tewas bersama Taleb adalah Sulaiman Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang Lhee, Pidie, yang merupakan seorang pemimpin NLF cukup brilian. Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung untuk satu misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjata saat diserang. Sulaiman meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga anak.

Pelantikan kabinet Meskipun kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976 dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru Aceh, tapi mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat. Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama hampir setahun.

Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik para menteri yang terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang bertepatan dengan hari pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25 tahun "mengembara" di AS. Hanya dua orang yang tidak berada di tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Diputuskan juga tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab lokasi itu dekat dengan sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat diperoleh secara mudah.

Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat cocok bagi sebuah acara pelantikan.

Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp dihias dengan berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar kenegaraan. Daging, beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan makanan lain dipasok secara besar-berasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari desa pinggiran sibuk membuat kue-kue. Tak ada rahasia tentang acara pengambilan sumpah para menteri.

Hari yang bersejarah itu pun tiba. Setelah dua jam berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro tiba di Kamp Lhok Nilam. Segala persiapan sangat sempurna. Di "pintu utama" terpampang kalimat "Selamat Datang Wali Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut.

Podium utama terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di utara, terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar belakang Gunung Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan (sebelah timur) terdapat batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas ketika ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.

Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan makanan siap disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa terdekatlah yang membawa semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak. "Saya belum pernah menikmati makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun di dunia ini. Tidak juga ketika saya berada di Maxim Paris atau di Mirabelle London, atau Le Mistral New York," ujarnya.

Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat. Acara dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang menteri yang sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Tengku Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga konstitusi Aceh Sumatera."

Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi Menteri Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap Menteri Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah, Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir Mahmud, Menteri Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan Panglima Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.

Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang dipimpin Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan bintang bergaris hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara azan oleh seorang muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat NLF berdiri di belakang podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam lengkap. "Saya tidak pernah melihat orang-orang saya lengkap seperti ini sebelumnya. Saya sangat bangga kepada mereka," tulis Hasan Tiro.

Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh menyampaikan pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube. Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta berkah dari para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air mata setiap orang pun tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro tampil sebagai pembicara terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan pengikutnya. Air matanya tumpah. Ia tahu semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat perjuangan yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling dalam terbetik satu tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada orang-orang saya!".

(Bersambung)

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (2)

MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976), Hasan Tiro mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di Amerika Serikat (AS).

Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB (Minggu 31 Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan sebagai markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.

Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan untuk pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro. Panton Weng adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan sejak 100 tahun silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu mempertahankan harkat dan martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda. Orang-orang percaya di tempat itu "ada penjaganya" yaitu dua harimau.

Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Hasan Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke Panton Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang, sangat sulit memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik Umar di Tiro mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk menjemput Hasan Tiro dan membawanya pulang ke Tiro.

Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di bagian depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro. Sedangkan di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan yang penuh belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak bila suatu saat musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di kawasan Tiro. Itu merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk membuktikan kekuatan fisiknya.

Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke kawasan Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan Hasan Tiro saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh. Untung Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro sehingga tidak jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya masa-masa indah ia berjalan di Fifth Avenue, New York. "Apa yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri. Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba di kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi missinya. Di sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak tokoh masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur menemuinya. Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan. Tangannya dicium ketika berjabat.

Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment historis menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro --pemimpin terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran sengit di Alue Bhot, Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah diumumkan kepada dunia. Hasan Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di hutan.

PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga diumumkan pada hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri tertunda sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada wakil datang dari luar Aceh.

Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp yang banyak tersebar di hutan.

Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi Hasan Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa Blang Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih. Hasan Tiro memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat lengang. Geutjhik Uma hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Sesuatu telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung tentara.

"Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!" perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat terkejut karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.

"Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam rumah!" terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak dan istri saya. Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.

Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar lebih dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan tidak diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu belakang sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin seorang musuh berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak tangan saya! Dia menembak tangan saya! Toloong...!!"

Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam untuk mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui dengan menghilangkan jejak dari para pengejarnya.

Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan pengawalnya sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu yang cidera, tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan adalah tindakan benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro kepada anak buah yang selalu setia mengawalnya.

Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat. Bahkan, ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara tentara dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank. "Rumor menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan Tiro dalam catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro dipindahkan ke tempat lain lagi.

Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka sebagai "teroris, bandit, fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks proklamasi dalam bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh Aceh dan bahkan ke luar negeri.

Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat Aceh selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan kekalahan Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.


Mendirikan Universitas Aceh

AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.

NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya yang tak selesai ini tidak merasa kecewa.

Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar Anang kembali ke daerahnya.

Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto pemimpin gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi, Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977 merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan, atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.

Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan untuk mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon (Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula rektor pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50 "mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung. Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional, Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.

Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal "Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem ekonomi.

Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional, Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan membahas tentang tugas-tugas.

Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan tidak sama seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS.

(Bersambung)

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (1)

HARI itu, 4 September 1976. Satu pesawat meninggalkan New York, Amerika Serikat (AS). Seorang penumpangnya adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Penerbangan itu menempuh rute Seattle - Tokyo - Hongkong, dan wilayah-wilayah Asia Selatan lainnya. Itulah perjalanan yang membawa Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk mewujudkan impiannya, "Memimpin rakyat dan negara saya". Dalam pesawat, pikiran Hasan Tiro menerawang jauh. Namun, ia pun dapat melupakan semua kemewahan di tempat "pengasingan". Anak satu-satunya dan istri tercinta yang cantik jelita, dengan berat hati harus berpisah.

Meski pun berada dalam pengintaian pemerintah Indonesia, selama di AS, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis. Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ia mengecualikan Indonesia. Ia menghindar berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS. Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerjasama dengan beberapa perusahan itu.

Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.

Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi. Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.

Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik. Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu. Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera. Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka. Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.

Pesawat terus membawa Hasan Tiro semakin dekat dengan Aceh. Ia teringat mati ketika melongo ke bawah. Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa, tapi belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.

Lalu, pikirannya teringat akan musibah yang pernah dialaminya. Suatu ketika di puncak Pegunungan Rianier, jet berkapasitas empat orang mesinnya tiba-tiba mati mendadak. Hasan Tiro dan rekan bisnisnya, DC, duduk di depan. Di bagian belakang duduk VDL dan MP. DC adalah pemilik perusahaan pesawat terbesar di dunia kala itu. Ia juga mantan pilot yang sangat handal.

Tujuan perjalanan mereka adalah meneliti satu kawasan di Oregon.

Hasan Tiro berdoa kepada Allah agar ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah. Ia bahkan bernazar. Jika selamat akan segera pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Hasan Tiro dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.

Nazar yang diucapkan Hasan Tiro tidak diurungkannya lagi. Namun yang sangat berat baginya untuk melaksanakan tugas "membebaskan Aceh dari penjajahan" adalah harus meninggalkan keluarganya. Ia harus meninggalkan bocah laki-lakinya semata wayang, Karim, yang saat itu baru berusia enam tahun. Ia juga terpaksa membiarkan istrinya, Dora, kesepian di tengah keramaian Kota New York.

Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemanapun dia pergi, Karim selalu dibawa. Karim mendapat tempat istimewa dalam unfinished diary. Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.

Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun. Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itupun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.

Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting.

Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Hasan Tiro.

Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau. Tapi, kini pesawat telah tiba di sebuah negara Asia, Hasan Tiro mengatur rencana agar dapat masuk ke Aceh. Selama beberapa pekan, ia memantapkan rencananya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.

(Bersambung)