HUBUNGAN BUGIS DENGAN ACEH DALAM CATATAN SEJARAH
OLEH : IRINI DEWI WANTI, SS., MSP
DIPOSTING OLEH MAWARDI HASAN DI ACEHNET 3 JULI 2011
DIPOSTING KEMBALI OLEH TEUKU YUNANSYAH 1 SEPT 2011
I.Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari
membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak
zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina
memerlukan pelabuhan tempat pers...inggahan untuk tempat mengambil bekal
dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut
dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada
akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di
Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad
15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak
kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran
Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh
para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan
menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial
baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan
nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang,
perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan
internasional pada masa lalu.
Kondisi ini memungkinkan adanya pembauran antara berbagai suku bangsa
dalam satu daerah. Contohnya di Aceh hingga saat ini ada masyarakat di
daerah Pidie melihat dari profilnya mirip dengan orang Tamil di India,
sedangkan di Lamno ada masyarakat dengan warna mata biru mereka awalnya
adalah komunitas sendiri keturunan Portugis. Begitu juga dengan Cina dan
Arab juga bagian dari prototype orang Aceh.
II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
Selanjutnya siapakah masyarakat Bugis yang ada di Aceh dan bagaimana
keberadaannya di daerah itu ? Historiografi tradisional yang pernah
berkembang di Aceh menyebutkan silsilah Sultan Aceh keturunan Bugis
diawali dengan kisah seorang yang bernama Daeng Mansyur dari Wajo (kini
salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan). Ia seorang anak raja
yang terdampar di perairan Pidie (Kini Kabupaten Pidie di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam). Disisi lain kita akan bercerita tentang
sebuah kampung (Aceh: Gampong) yang bernama Reubee ( kini di Kecamatan
Delima di Kabupaten Pidie). Di kampung ini terkenal Dayah yang dipimpin
oleh ulama bergelar Teungku Chik di Reubeë. Daeng Mansyur menikah dengan
seorang puteri anak Teungku Chik di Reubee tersebut dan dikaruniai dua
orang anak, seorang perempuan yaitu Putroë Suni dan anak laki-laki
bernama Zainal Abidin.
Dalam catatan sejarah, masyarakat turunan Bugis yang ada di Aceh
tidak terlepas dari sejarah Sultan Iskandar Muda. Awal dari sultan Aceh
berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Iskandar Muda dengan Putroë
Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku Chik Di Reubee). Putroë Suni
ketika dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda sedangkan Zainal
Abidin hijrah ke Aceh Besar selanjutnya terkenal dengan nama Teungku di
Lhong dan ia mempunyai putra bernama Abdurrahim Maharajalela.[2]
Penulis Belanda juga menyebutkan tentang asal usul masyarakat Bugis
yang ada di Aceh dengan menyebutkan adanya tiga orang ulama di Pidie
berasal dari Sulawesi Selatan yaitu Teungku Seundri (sebenarnya adalah
Sidendreng dalam logat Aceh disebut Seundri), Teungku Sigeuli yang
namanya akhirnya diabadikan menjadi nama Kota Sigli, dan Daeng Mansur
dari Wajo.[3] Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1590 pada masa
pemerintahan Sultan Saidilmukamil (1588-1604). Sebelum Sultan
Saidilmukamil kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Riayat
Syah atau Raja Buyung (± 1586-1588). Iskandar Muda memerintah kerajaan
Aceh Darussalam dengan sangat bijak sehingga kerajaan Aceh mencapai masa
gemilang. Perkawinannya dengan Putroe Suni dikaruniai seorang anak
perempuan bernama Safiatuddin Syah. Safiatuddin menikah dengan Iskandar
Thani berasal dari Pahang. Maka inilah awal dari adanya pemerintahan
Sultanah dan Sultan keturunan Aceh-Bugis di Kerajaan Aceh Darussalam.
III. Kepemimpinan Para Sultanah dan Sultan Sultanah
a. Sultanah
P.J. Veth seorang Profesor Etnologi dan Geografi di Universitas
Leiden Belanda menulis sebuah karangan berjudul “Vrouwen Regeringen in
den Indische Archipel” (= Pemerintahan Wanita di Kepulauan Nusantara).
Satu hal yang menarik menurut Veth adanya kekuasaan kaum wanita dalam
pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun,
kekuasaan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (sultanah) secara
berturut-turut dari tahun 1641-1699 M.[4] Ketika Sultan Iskandar Muda
mangkat pada tahun 1636, menantunya Iskandar Thani (suami Safiatuddin
Syah) dinobatkan menjadi Sultan. Namun, pada tahun kelima
kepemimpinannya (1641) baginda mangkat dan belum dikarunia seorang anak.
Selanjutnya Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah yang memimpin
kerajaaan Aceh (1641-1675). Menjelang penobatannya timbul pertentangan
di kalangan pembesar di Aceh. Hal ini disebabkan Sultan Iskandar Thani
tidak memiliki putra dan pertentangan kelayakan seorang perempuan
menjadi pemimpin dalam pandangan Islam. Setelah melalui musyawarah dan
ikut campurnya ulama terkemuka yaitu Teungku Abdurrauf As Singkili
(Syiah Kuala) yang menyarankan pemisahan antara masalah agama dengan
pemerintahan. Akhirnya Safiatuddin Syah dinobatkan menjadi Sultanah
wanita pertama.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama sekitar hampir 35 tahun
(1641-1675). Pemerintahan yang begitu lama tentulah dengan segala
kebijaksanaan dan kemampuan yang dimiliki seorang wanita Aceh-Bugis.
Sebaliknya selama pemerintahnya Sultanah terus menerus dirongrong oleh
para tokoh kalangan istana yang tetap tidak setuju akan kepemimpinan
seorang wanita. Namun, kenyataanya setelah Sultanah Safiatuddin mangkat
kepemimpinan jatuh lagi ke tangan wanita yaitu Sultanah Nurul Alam
Naqiatuddin Syah (1675-1678). Pada masa kepemimpinan pemerintahan
Sultanah Safiatuddin kehidupan kerajaan yang paling menonjol terlihat
pada kemajuan di bidang ekonomi. Pada masa pemerintahan Sultanah Nurul
Alam Naqiatuddin Syah terjadi perubahan di bidang struktur administrasi
pemerintahan yaitu di luar daerah yang langsung diperintah oleh
Sultanah, daerah Aceh Besar dibagi dalam daerah besar yaitu 3 bagian
daerah besar yang sedikit banyaknya menyerupai segi tiga di sekeliling
daerah yang langsung diperintah oleh Sultanah dan karenanya dinamakan
Sagi (Aceh Sagoe).
Sehubungan dengan jumlah mesjid-mesjid yang terdapat di dalam daerah
tersebut, maka bagian-bagian itu dinamakan Sagi XXII, XXV dan XXVI para
kepalanya dikenal dengan nama Panglima Tiga Sagi. Pada awalnya
pengangkatan para Panglima Tiga Sagi itu bukan dimaksudkan supaya mereka
melakukan pemerintahan sendiri-sendiri terhadap sesuatu negeri, tetapi
lebih banyak untuk melakukan tugas pengawasan perintah-perintah
pemerintah pusat yang disampaikan kepada para Uleebalang telah
dijalankan sebagaimana mestinya. Selain itu para kepala Sagi dapat
bertindak sebagai panglima pada masa terjadi peperangan seperti
diartikan degan perkataan panglima itu.[5]
Kepemimpinan Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah hanya berlangsung
sekitar 3 tahun karena mangkat dan digantikan oleh Ratu Inayat
Zakiatuddin Syah (1678-1688). Selama kepemimpinan para Sultanah ini
kerajaan Aceh mulai memudar kharismanya disebabkan pergolakan politik
pro dan kontra terhadap kepemimpinan wanita. Terakhir Sultanah Kamalat
Zainatuddin Syah bertahta pada tahun 1688-1699. Pro dan kontra terhadap
kepemimpinan wanita akhirnya melengserkan Sultanah Kamalayat Syah.
Kepemimpinan beralih kembali kepada pria dengan diangkatnya Badrul Alam
Syarif Hasyim Jamaluddin menjadi Sultan. Mulai saat itu pemerintahan
dipimpin oleh Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702)
yang juga anggota adalah seorang perutusan Mekkah. Setelah tiga tahun
memerintah, baginda disuruh turun dari tahtanya oleh rakyat. Setelah
peristiwa tersebut empat sultan keturunan Arab lainnya diangkat sebagai
Sultan Aceh hingga tahun 1726 yaitu :
Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui Ibnu Syarif Ibrahim (1702-1703),
keponakan Sultanah Kamalat Syah. Pada bulan Juni 1703 baginda didepak
dari tahta oleh Jamalul Alam Badrul Munir.
Sultan Jamalul Alam Badrul Munir putra Sultan Badrul Alam Syarif
Hasyim Jamaluddin. Pada bulan Agustus 1703 Jamalul Alam Badrul Munir
baru mendapatkan pengakuan sebagai Sultan sehingga berkuasa mulai
1703-1726. Di bawah pemerintahannya daerah Batubara (kini di Provinsi
Sumatra Utara) memisahkan diri dan baginda dipaksa lari oleh
pemberontakan umum pada tahun 1726.
Sultan Johar Alam Amaddin Syah (1726) mangkat setelah 20 hari menjadi sultan.
Sultan Syamsul Alam (Wan di Tebing) kemenakan Jamalul Alam Badrul
Munir, beberapa minggu setelah dinobatkan diturunkan kembali pada akhir
Desember 1726.
Pada bulan Juni 1727 dengan suara bulat ketiga Panglima Sagi memilih
Maharajalela Melayu menjadi Sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Ahmad
Syah (1727-1735) putra Abdurrahim Maharajalela Bin Zainal Abidin
(Teungku di Lhong) bin Daeng Mansur juga yang bergelar Teungku Chik Di
Reubee mertua Sultan Iskandar Muda.Dengan demikian pemerintahan di Aceh
kembali dipangku oleh Sultan berdarah Aceh-Bugis.
b. Sultan
Masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727-1735)hingga Sultan
Alaiddin Johan Syah (1735-1760) selalu dihadapkan pada pertentangan
yang dilancarkan oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang ingin
berkuasa kembali. Namun, kedua Sultan yang hidup pada masa yang berbeda
memiliki visi yang sama dalam menjalankan roda pemerintahan diantaranya
mereka dapat membuka hubungan perdagangan dengan Inggris dan Perancis
tanpa memberi izin kepada mereka membuka benteng.[6] Sultan Alaiddin
Johan Syah (Pocut Uek) digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah
(1760-1781). Salah satu keberhasilannya adalah kenegerian Barus kembali
kepangkuan Aceh pada tahun 1778 yang sebelumnya diduduki oleh Belanda.
Sultan Aleidin Mahmudsyah berturut-turut digantikan oleh Sultan Alaiddin
Muhammad Syah (1781-1795), Sultan Aleidin Alam Syah (1795-1824), Sultan
Muhammad Syah pada 1824-1836, masa-masa ini adalah semakin gencarnya
infiltrasi Barat (Inggris) ke Pulau Sumatra. Sultan Muhammad diganti
oleh Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah (1836-1870) masa pemerintahan
beliau satu persatu daerah kekuasaan Aceh di luar Pulau Sumatra jatuh ke
tangan Belanda diantaranya Barus dan Nias. Sultan Alaiddin Ibrahim
Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1870-1874).
Pada tahun 1873 pecahlah perang Belanda di Aceh yang dimulai dengan
Agresi Militer Belanda I. Inilah awal perang yang memunculkan keheroikan
masyarakat Aceh. Agresi Belanda terhadap Aceh adalah awal kesengsaraan
hingga pupusnya kesultanan Aceh. Akibat perang yang memakan waktu lebih
40 tahun menghancurkan bukan saja dalam bentuk fisk berupa
lambang-lambang kerajaan seperti istana (Dalam), mesjid raya tetapi juga
dengan pengasingan Sultan yaitu Sultan Alaiddin Mahmud Daud Syah.
IV. Penutup
Satu kenyataan bahwa hubungan Aceh dan Bugis diikat oleh benang merah
yang mempersatukan keduanya akibat perkawinan kaum bangsawan hingga
melahirkan para sultanah dan sultan Aceh keturunan Bugis yang pernah
bertahta di Kerajaan Aceh khususnya dimulai dari Sultan Alaiddin Ahmad
Syah (1727) hingga Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (1903).
Sultan terakhir tertawan oleh Belanda dan diasingkan ke Ambon pada
tahun 1907, kemudian dipindahkan ke Batavia (kini Jakarta) hingga
mangkat pada bulan Februari 1939 dan makamnya dewasa ini berada di
Rawamangun Jakarta.
Akhirnya dari tulisan ini jelaslah pada kita bahwa Negara kita yang
diikat dalam NKRI memang bagian yang tidak terpisahkan antara satu
daerah dengan daerah lainnya di kepulauan nusantara ini yang memiliki
simpul-simpul sejarah. Bila dikaji memang seharusnya kita tidak boleh
terpisahkan. Kita dipersatukan oleh sejarah, dipersatukan oleh ikatan
darah antar satu suku dengan suku lainnya.
CATATAN KAKI
[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900
Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan
Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan :
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada
T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, :
58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara
Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm.
42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca
dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur
Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh
Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,
0 komentar :
Posting Komentar