FAMILI DI TIRO DALAM UJIAN SEJARAH

Oleh Yusra Habib Abdul Gani*
Monday, October 20, 2008

FAMILI di Tiro, bukan saja penyandang predikat Ulama, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Hal ini dimulai dari karir politik Tengku Tjhik di Tiro Mhd. Saman, yang dilantik oleh Majlis Negara: Tuanku Hasjém; Teuku Panglima Polém; Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë sebagai Kepala Negara pada tahun 1875, menggantikan Mhd. Dawud Shah yang waktu itu berusia 9 tahun dan dinilai tidak layak memimpin negara dalam keadaan perang.

Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Mhd. Saman, TNA berhasil mengurung serdadu Belanda selama 12 tahun [tahun 1884-1896] dalam suatu kèm yang Belanda namakan ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). J. Kreemer, dalam: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“ Strategi militer yang taktis dan kendali politik sudah berada di tangan Acheh.

Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terlalu toleran, memberi peluang kepada musuh untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuhnya. Dalam rentang masa 12 tahun itulah, terjadi diplomatic correspondence antara Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan pemerintah Belanda. Kepada serdadu Belanda yang terkurung disarankan supaya:

1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.

Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, hlm. 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)

Ke-empat syarat yang ditawarkan, merupakan bukti nyata keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh. Kompromi politik dan militer sebetulnya hanya terjadi, jika kuasa politik dan militer, mutlak sudah di tangan Aceh. Belanda perlu masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Selama itu, pakar psikology perang Belanda menyusup dan meneliti karakteristik orang Acheh dan menyimpulkan: Acheh adalah bangsa yang memiliki sifat jujur, ikhlas, baik hati, pema’af, gila gelar, pangkat dan harta.

Keberagaman sifat ini, dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan politik dan militer. Misalnya, para Ulèëbalang di sekitar kèm disogok, diberi gelar dan pangkat dengan maksud agar tidak menyerang mereka. Disamping itu, Belanda mengulur waktu dan terus berunding. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman terperangkap dalam perang urat saraf yang licik. Hasilnya, Belanda secara rahasia memperalat seorang perempuan asal Sibrèh, supaya mau membunuh Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman dengan cara membubuh racun dalam makanan. Belanda berjanji memberi emas batangan kepada pelaku. Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman akhirnya meninggal karena diracun pada 25. Januari tahun 1891. Kepada perempuan (pengkhianat) ini, Belanda hadiahkan peluru di kepalanya sampai mati. Logikanya sederhana: kepada bangsanya sendiri mau berkhianat, konon lagi kepada mereka [Belanda].

Dalam suasana berkabung, serdadu Belanda berhasil memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA. Maka, pada 26. Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat. H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Mhd. Amin [pen: penerus Tengku Thjik di Tiro Mhd. Saman (tahun 1891–1896)]. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, di sanalah beliau dikuburkan.”

Posisi Tengku Thjik Mhd. Amin di Tiro sebagai kepala negara, selanjutnya dipegang oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896–1899). Malangnya, hanya menjabat kepala negara selama tiga tahun. Beliau mati syahid dalam medan perang tahun 1899. Pimpinan tertinggi negara diteruskan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899–1904). Dalam suatu peperangan yang sengit, beliau mati syahid. Estafet kepemimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21. Mei 1910 (1904–1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara dipegang oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.

Ketika itulah, Belanda coba membuka rundingan. Untuk itu, Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd, disuruh Belanda menulis dan mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah kepada Belanda. Ahli sejarah Belanda menulis: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekad untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Tengku Mahjédidin di Tiro tidak bergeming dari pendidiriannya dan mati syahid dalam medan perang Alue Simi, pada 5. September 1910.

Pada waktu itu, Tengku Ma’at di Tiro (16 tahun) meneruskan amanah kepemimpinan demi perjuangan dan memelihara prestige famili di Tiro. Beliau pernah ditawari Istana, wanita dan fasilitas hidup seumur hidup di Arab Saudi. Tetapi semua tawaran Belanda ditolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih mati syahid daripada menyerah dan menginjak Istana musuh. Dalam medan perang Alue Bhôt, pada 3. Desember 1911, beliau gugur sebagai syuhada. Inilah komentar Pengarang Belanda: ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa.”

Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan, sehingga bisa menjadi pelajaran kepada bangsa Acheh dan musuh. Colonel H.J. Schmidt mencatat: “Dari sejak permulaan perang, famili Tengku di Tiro telah memainkan peranan penting yang luar biasa bagi rakyat Aceh. Di sini, tidak ada pilihan lain kecuali: memenangkan peperangan atau mati sebagai pahlawan. Kemenangan sudah terang tidak mungkin dan tidak bisa diupayakan. Tidak, walaupun mereka berdiri tegah dan berperang seperti hero. Kendati rintangan melintang, seorang Tengku di Tiro tidak akan mengakui kemungkinan lain, kecuali memilih mati.

Maka, demi perang ini, segalanya sederhana, singkat dan kendala: dimana Tengku di Tiro yang terakhir mati syahid dalam medan peperangan... dan pemandangan ini tidak bisa dipungkiri dalam drama kelangsungan bangsa Aceh, bahwa bermula dari sekarang, tidak dapat berkiprah lebih lama lewat jalan lain.” (Marechaussee in Atjèh, 1942) Inilah pengakuan musuh terhadap famili di Tiro. Lebih jauh dikatakan: “Darah Tengku di Tiro sudah terlalu banyak tumpah. Kasihan kepada anak muda ini. Sebab itu diupayakan untuk menyelamatkan nyawanya; tapi tidak mudah, sebab tidak mau kompromi. Kita sudah memberi jaminan hidup dan status social, tapi semua ditolak mentah-mentah…. Ini sudah cukup, lebih dari cukup.” (H.C Zentgraaff, Atjèh) Sejak itu, famili Tengku di Tiro pudar dari pentas politik. Rentetan peristiwa dalam sejarah perjuangan famili di Tiro sampai 1911, terjawab sudah!

Genap 85 tahun kemudian, barulah Tengku Hasan M. di Tiro bangkit memproklamirkan Aceh Merdeka [04/12/1976] sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 3. Desember 1911. Kini giliran Tengku Hasan M. Di Tiro tengah dalam ujian sejarah. Antara tahun 1873–1875, issue tentang Aceh gempar dalam Sidang Parlemen British, Belanda, Turki, Perancis, tidak terkecuali Gedung Putih (USA) atas serangan Belanda ke atas Aceh –negara merdeka– dan negara sahabat mereka, yang tahu membedakan antara Netherlands East Indie [NKRI] dan Aceh. Pada tahun 2005, issue Aceh gempar di Helsinki, karena GAM [baca: Aceh] menuntut jatah serpihan demokrasi, sesudah terlebih dahulu mengaku bahwa Aceh satu bagian dari NKRI dan taat kepada konstitusi positif Indonesia. Negara-negara yang sebelumya sahabat Aceh, sekarang mendukung Otonomi Aceh di bawah NKRI.

Sebagai pemimpin tertinggi GAM, inilah saat yang tepat –selama berada di Aceh– Tengku Hasan M. di Tiro menjelaskan kepada rakyat Aceh dengan terus terang tentang: keabsahan Aceh menerima Otonomi khusus [self-government] dalam NKRI atau masih menuntut kemerdekaan Aceh yang beliau proklamirkan 4/12/1976. Hal ini penting demi masa depan dan kemaslahatan rakyat Aceh.

Apalagi, Tengku Hasan M. Tiro dalam surat yang ditujukan kepada Tengku Muhammad Mahmud (Abang kandung Dr Zubir Mahmud –Menteri Sosial Aceh– (yang dilantik oleh Tengku Hasan di Tiro tahun 1976) mengatakan: ”... Saya bertanggungjawab di hadapan Allah atas matinya ribuan bangsa Aceh dalam revolusi ini…”.

Saksi dalam perkara ini ialah: saya sendiri, Bakhtiar Abdullah, Musanna Abdul Wahab dan Iqlil Ilyas Leubé. Jadi, kalau bukan sekarang, kapan lagi para korban konflik dan ahli waris menagih tanggungjawab itu. Dari surat politik pakai kop ASNLF yang dikirim kepada Yusuf Kalla (Wapres RI), adalah suatu indikasi bahwa beliau masih tetap komitmen dengan pendirian semula. Dalam soal ini: jangankan surat kepada pemimpin negara asing; surat-menyurat yang dikirim Wali Negara kepada saya sendiri pun, selalu beliau pakai kop resmi ASNLF. Beliau tahu benar menempatkan diri. Hanya saja staf terdekat beliau kerap bermain di belakang layar. Misalnya: Malik Mahmud mengirim surat susulan kepada Yusuf Kalla tanpa kop ASNLF dengan redaksi yang sama. Ini ’diplomatic correspondence’ yang a’ib dalam dunia diplomasi.

Contoh lain. Pembohongan telah berlaku atas diri beliau antara rentang masa Januari-Juli tahun 2005, dimana juru runding GAM memberi komentar: “semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008. [bukti dokumen ada di tangan saya] Dalam dunia politik, tidak mustahil terjadi pengkhianatan.

"Semua perkembangan yang terjadi di meja runding [di Helsinki] tetap dilaporkan kepada Wali Negara.” Ternyata, draft MoU Helsinki baru diketahui dan dibaca oleh Tengku Hasan di Tiro pada jam: 18.30 tgl. 05/08/2008."
 
Kisah lain lagi, yang masih segar dalam ingatan saya, yakni: ketika Tengku Hasan M. Di Tiro mengirim surat bernada mengadu kepada saya yang isinya sangat memeranjatkan: ”... Sdr. Yusra..., siapa yang akan menggantikan jika saya meninggal dunia nanti. Orang-orang terdekat dan saya percayai sudah nampak tanda-tanda akan mengkhianati saya...”

Bakhtiar Abdullah dan Iqlil Ilyas Leubé menangis terisak-isak saat saya perlihatkan surat rahasia ini dan kemudian memeranjatkan Zakarya Saman dan Malik Mahmud. Ini terjadi pada pada Desember 1993. Tentang hal ni, dalam Artikel: ”Kunci-kunci Idelogo Aceh Merdeka” sudah beliau bayangkan. Famili Tengku di Tiro memang rencam dengan kepelbagaian pengalaman yang pahit dan manis.

Namun, Tengku Hasan M. di Tiro tetap mengingatkan: ”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

”... Syarat utama menjadi Wali Negara Aceh ialah: orang yang bersangkutan tidak menyerah kepada kehendak musuh. Teladan ini sudah dibuktikan sejak Ali Mughayat Syah – sampai sekarang...”

Dalam perjalanan menuju Aceh, wartawan RCTI bertanya: ”apakah Tengku mendukung perdamaian? Beliau jawab: ”Tentu..., tentu” Bahkan kata beliau: ”Saya ingin Aceh selamanya damai” [Serambi Indonesia, 12/10/08]. Betapa tidak, damai adalah sunnah. Yang menolak damai berarti mengingkari Sunnah. Tetapi dalam doktrin GAM, damai bukan substansi perjuangan, oleh sebab itu soal satus Aceh, batas wilayah, bendera, logo, struktur pemerintahan dan TNA tidak semudah itu dilebur. MoU Helsinki bukanlah “Surat Keramat” yang bisa dipakai oleh juru runding atau Wali Negara sekali pun untuk menggadai Aceh kepada pihak mana pun dengan dalih apa pun. Ianya milik rakyat yang perubahannya mesti atas persetujuan rakyat melalui referendum.

[Teks tambahan: Buat apa damai kalau Aceh tergadai? ”... jadikan perang untuk damai, tetapi damai yang menang...,” kata Nietzsche dalam bukunya yang masyhur, Zarathustra. Tengku Hasan di Tiro suka mengutip ucapan Nietzsche dalam caramah politiknya.]

Kalaulah Tengku Hasan M. di Tiro berkata: “Rakyat Aceh mesti tahu sejarah, sebab tanpa perjuangan tersebut, tidak mungkin kita bisa membina hubungan dengan negara lain, seperti yang terjadi sekarang ini.” [Serambi Indonesia, 6/10/08]. Artinya, Sultan Aceh [pemimpin tertinggi negera] dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang pun yang berkhianat kepada bangsanya. Inilah pelajaran yang didapat dari sejarah.

Akhirnya, “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873.

Dalam konteks ini, maka Tengku Hasan M. Di Tiro sedang diuji untuk menentukan, apakah beliau mengikuti pendirian famili Tengku di Tiro sebelumnya atau sebaliknya. Sejarah akan mengukir dan mengadili. Sejarah adalah Mahkamah yang paling adil dalam peradaban manusia. Di bawah sinar Matahari, tidak ada peristiwa yang mustahil terjadi. Wallahu’aklam bissawab![]

*Director Institute for Ethnics Civilization Research.

[Tabloid KONTRAS Banda Aceh, 16/10/08]

Sejarah Syuhada 44

Syuhada 44 merupakan istilah pemberontakan terhadap Jepang yang terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Tengah malam Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang diPandrah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Pandrah.

Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.

Jepang yang saat itu memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat. Hal itu dijadikan materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat membangkang terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang.

Seorang pemuda bernama Nyak Umar, kemenakan Teungku Pang Akob di Desa Meunasah Dayah malah ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Hal itu memberi dorongan kuat bagiTeungku Pang Akob dalam berdakwah mengkampanyekan jihad melawan Jepang.


Sebelum pemberontakan terjadi, Teungku Pang Akob pergi menyendiri ke sebuah gua di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu Simpang dibawah pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu komando perang.

Nyak Umar yang pernah disiksa Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar sebagai penjual obat keliling. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain sambil membisikkan ajakan-ajakan jihad.

Sementara itu, Muhamamd Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda di Gle Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat latihan militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam pemberontakan yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.

Saat itu Teungku Pang Akob tidak akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi karena sudah diketahui Jepang, maka pemberontakan pun dilakukan pada malam menjelang tanggal 3 tersebut.

Rahasia kelompok Teungku Pang Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka diberitahu dan diminta untuk berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.

Tapi sebelum Said Ahmad dan Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah terjadi pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan Teungku Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah.

Malam itu tidak ada pasukan Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil di bunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga ditangkap di tangsi tersebut, tapi tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada kontak terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukan.

Setelah penyerbuan tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri ke markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru. Meski mengetahui keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak menyerbu tapi menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai.

Mereka dibujuk untuk turun gunung dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan Abdullah TWH dikirim sebagai utusan untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang Akob kepada para utusan tersebut mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.

Pagi 5 Mei 1945, para perwira Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang bersama satu pasukan siap tempur. Diantara mereka terdapat pejabat beberapa pejabat daerah diantaranyaTeuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodoka.

Mereka berkumpul di Meunasah Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku Pang Akobdan pasukannya dalam rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.

Para perwira Jepang duduk di Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur berjaga-jaga di kawasan tersebut. Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu Akbar terdengar membahana terus menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat Jepang ketakutan dan kalang kabut.

Dalam kepanikan Jepang tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari alur rimbun yang ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah menebas dan menikam tentara Jepang.

Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur yang airnya tidak mengalir (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda. Saat keluar badan mereka menempel puluhan lintah.

Pertempuran itu selain menewaskan para perwira Jepang dan serdadunya, juga Guntyo Bireuen,Teuku Yakub ikut menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, saat mereka keluar dari alur persembunyian mereka melihat tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan bersama pasukanTeungku Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut. Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang meninggal berjumlah 44 orang. Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang tewas itu dikenal sebagai Syuhada 44.

Dampak dari perang di Meunasah Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan paksa di Jeunieb terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi militer Jepang di Pandrah dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.

Para pemuda yang ditangkap dan ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur. 24 orang yang dianggap bersalah diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi diperiksa tapi langsung di eksekusi mati di sana.

Mereka yang dihukum mati itu adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.

12 orang lainya dihukum antara 5 sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di penjara Pematang Siantar. Enam orang diantara mereka tewas dalam penjara karena mengalami penyiksaan berat.Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu adalah Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.

Enam orang lainnya dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka adalah Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.

Daftar Korban

Sementara 44 orang syuhada yang gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei 1945. Berikut adalah daftar 44 nama syuhada tersebut adalah:

1. Teungku Siti Aminah, 
2. Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), 
3. Teungku Mahmud Ben, 
4. Teungku Ismail Rahman, 
5. Teungku Sabon Piah, 
6. Teungku Usman Lheu, 
7. Teungku Muhammad Adam Rifin. 
8. Teungku Ibrahim Yusuf, 
9. Teungku Muhammad Yusuf Gagap, 
10. Teungku Nyak Abu Bakar Amin, 
11. Teungku Muhammad Amin, 
12. Teungku Mat Kasim, 13. Teungku Meulaboh, 
14. Teungku Muhammad Hasan Banta, 
15. Teungku Suleiman Ali, 
16. Teuku Nyak Isa, 
17. Teungku Kasim, 
18. Teungku Muhammad Yakob, 
19. Petua Jalil, 
20. Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, 
21. Teungku Jalil Ben. 
22. Keuchik Johan, 
23. Abu Keuchik Lheu, 
24. Muhammad Gam, 
25. Teungku Saleh Ismail, 
26. Teungku Ismail Ahmad, 
27. Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, 
28. Teungku Ahmad Itam, 
29. Teungku Ibrahim Ali, 
30. Nyak Umar Adam, 
31. Teungku Abdullah Ben, 
32. Teungku Sulaiman Lheu, 
33. Teungku Ahmad Gampong Blang, 
34. Teungku Ahmad Usman. 
35. Teungku Ibrahim Yusuf, 
36. Teungku Ismail Rifin, 
37. Teungku Abdullah Gampong Blang, 
38. Teungku Saleh Ben Tulot, 
39. Teungku Ibrahim Husin, 
40. Teungku Suud Tringgadeng, 
41. Teungku Saleh Gampong Blang, 
42. Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, 
43. Teungku Saleh Bin Abdurrahman, 
44. Dan syahid yang ke 
44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah.
Sumber Facebook

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (3)



DALAM sidang kabinet, pada 16 Oktober 1977, diputuskan untuk memulai usaha-usaha penyelamatan sumber daya alam di Aceh yang mulai dieksploitasi, khususnya minyak dan gas di Arun, Aceh Utara, tanpa menghasilkan konstribusi yang cukup kepada masyarakat sekitarnya. Japan Economic Journal, edisi 21 Oktober 1975 menuliskan, "Ladang Gas Arun di Aceh merupakan salah satu ladang terkaya di Asia Timur yang terletak di Sumatera bagian Utara. Arun juga satu sumber gas alam terkaya di dunia." Jurnal itu juga melaporkan, Mobil Oil Corporation sudah menawarkan 37 persen konsesi Ladang Gas Arun seharga 450 juta dolar AS kepada pemerintah Jepang. Konsesi demikian, menurut Hasan Tiro, satu tindakan yang ilegal sebab tidak melibatkan orang Aceh yang memiliki kekayaan alam itu.

"Rakyat Aceh menjadi terasing di negaranya dan tanah leluhur mereka diperjual-belikan kepada perusahaan-perusahaan asing. Kami diburu bagai binatang karena memprotes ketidakadilan itu. Dapatkah hal semacam itu terus berlangsung di dunia ini," tulis Hasan Tiro dalam catatan hariannya.

Untuk menyelamatkan sumber daya alam, pasukan Front Pembebasan Nasional (National Liberation Front Acheh Sumatera = NLFAS) di "Propinsi Pase", tempat Ladang Gas Arun terletak, melakukan "tindakan lembut" dengan show of force di dekat Kota Lhokseumawe. Mereka diperintahkan tidak menembak.

Dalam aksinya, pasukan NLF meminta semua pekerja asing meninggalkan ladang gas Arun demi keselamatan mereka. "Kepada semua pekerja Amerika, Australia, dan Jepang dari Mobil dan Bechtel agar segera meninggalkan negeri ini. Kalian dapat kembali lagi nanti kalau suatu saat Aceh sudah merdeka," demikian bunyi seruan yang disebarluaskan.

Aksi 19 Oktober 1977 itu sukses. Pasukan NLF berhasil menghancurkan pembangkit tenaga listrik dekat Lhokseumawe dan Arun. Mereka juga memblokir jalan raya yang menghubungkan Medan-Banda Aceh. Meskipun terjadi tembak-menembak dan sejumlah kendaraan tentara rusak dalam aksi tersebut, tapi tak ada korban jiwa dari kedua belah pihak.

Pada 21 Oktober 1977, Hasan Tiro bangun pagi cepat karena adanya "pertengkaran" antara komandan peleton --yang ditugasi menjaga para penyuplai makanan dari daerah-daerah yang dekat dengan markas NLFAS-- dengan seseorang. Hasan Tiro mendengar suara seseorang yang cukup keras. "Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku!"

Masalahnya adalah pengawal segan untuk membangunkan Hasan Tiro terlalu dini. Komandan peleton menyarankan agar orang itu pulang saja ke desanya. "Tidak! Saya tidak akan pergi sebelum melihat Tengku! Saya akan mati tanpa melihat Tengku! Kalau saya mati, paling tidak saya sudah melihatnya!" teriak orang itu lagi.

Hasan Tiro terperanjat mendengar kenekatan orang tadi. Dia melompat ke tanah dari tempat tidurnya dengan kelelahan yang sangat, sehabis bekerja sepanjang hari yang cukup berat kemarin. "Saya selalu tidur di kamp dengan pakaian hijau dan pistol tergantung di pinggang," kata Hasan Tiro.

Lalu, ia meminta pengawal untuk membawa orang tadi menghadapnya. Pria itu masuk tergesa-gesa dan langsung mencium tangan Hasan Tiro yang dibalas dengan pelukan erat. Pria berusia sekitar 30 tahun itu namanya Taleb Abu Mae (Ismail). Air matanya tak terbendung. Dia datang ke Kamp Alue Djok sehari sebelumnya dan tidak mau pulang sebelum bertemu Hasan Tiro. Pria itu datang dari desa yang sangat militan, Pasi Lhok. Itu merupakan pertemuan yang sangat bermakna.

Beberapa hari kemudian, Taleb Abu Mae tewas diterjang peluru tentara ketika sedang melakukan satu misi. Dia meninggalkan seorang istri yang masih sangat muda dan dua anak.

Taleb diminta ayahnya pergi ke hutan untuk membantu Tengku apapun risiko yang terjadi. Ikut tewas bersama Taleb adalah Sulaiman Abdullah (33), Kepala Distrik Glumpang Lhee, Pidie, yang merupakan seorang pemimpin NLF cukup brilian. Mereka diserang tentara ketika sedang berjalan di pinggiran gunung untuk satu misi penting. Mereka, menurut Hasan Tiro, tidak bersenjata saat diserang. Sulaiman meninggalkan seorang istri yang masih muda dan tiga anak.

Pelantikan kabinet Meskipun kabinet negara Aceh telah diumumkan saat proklamasi kemerdekaan, 4 Desember 1976 dan setiap menteri sudah melaksanakan tugasnya di seluruh penjuru Aceh, tapi mereka belum pernah berkumpul semuanya di satu tempat. Hal itulah yang menyebabkan pelantikan kabinet tertunda selama hampir setahun.

Akhirnya 22 Oktober 1977, Hasan Tiro memutuskan untuk melantik para menteri yang terputus sejak tahun 1911. Waktunya dipilih 30 Oktober, yang bertepatan dengan hari pendaratan kembali Hasan Tiro di Aceh setelah selama 25 tahun "mengembara" di AS. Hanya dua orang yang tidak berada di tempat, yaitu Menteri Perdagangan Amir Rashid Mahmud dan Menteri Luar Negeri Malik Mahmud. Mereka sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Diputuskan juga tempat pelantikan dilakukan di Kamp Lhok Nilam, sebab lokasi itu dekat dengan sejumlah desa sehingga makanan dan keperluan lainnya dapat diperoleh secara mudah.

Kamp itu juga cukup untuk menampung lebih dari 300 orang dan sangat cocok bagi sebuah acara pelantikan.

Segera segala sesuatu dipersiapkan. Kamp dihias dengan berbagai warna-warni dan ornamen layaknya sebuah acara besar kenegaraan. Daging, beras, tepung, gula, kopi, susu, madu, telur dan bahan makanan lain dipasok secara besar-berasan ke markas tersebut. Kaum wanita dari desa pinggiran sibuk membuat kue-kue. Tak ada rahasia tentang acara pengambilan sumpah para menteri.

Hari yang bersejarah itu pun tiba. Setelah dua jam berjalan kaki dari KampAlue Djok, rombongan Hasan Tiro tiba di Kamp Lhok Nilam. Segala persiapan sangat sempurna. Di "pintu utama" terpampang kalimat "Selamat Datang Wali Neugara ke Lhok Nilam." Hasan Tiro mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang telah bersusah payah menyukseskan acara tersebut.

Podium utama terletak di tengah-tengah lapangan. Di bagian depannya ada tiang bendera. Di utara, terlihat jelas air sungai Krueng Tiro mengalir tenang yang berlatar belakang Gunung Tjokkan, tempat kemerdekaan diproklamirkan. Di sisi kanan (sebelah timur) terdapat batu menjulang tinggi berbentuk cakaran elang, tempat Tengku Thjik di Tjot Plieng tewas ketika ia bertempur melawan tentara Belanda tahun 1904.

Ketika rombongan tiba di tempat itu, waktunya sudah siang dan makanan siap disantap. Makanannya sangat banyak. Orang-orang dari desa terdekatlah yang membawa semua makanan itu. Hasan Tiro tertegun sejenak. "Saya belum pernah menikmati makanan seenak ini sepanjang hidup saya di manapun di dunia ini. Tidak juga ketika saya berada di Maxim Paris atau di Mirabelle London, atau Le Mistral New York," ujarnya.

Lalu, pengambilan sumpah para menteri dilaksanakan secara khidmat. Acara dipimpin Menteri Kehakiman, Tengku Ilyas Leube. Ia adalah salah seorang menteri yang sangat senior. Penyumpahan dilakukan satu demi satu. "Demi Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya bersumpah: untuk mematuhi semua perintah Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW, melanjutkan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Tengku Tjhik di Tiro, mematuhi perintah Wali Neugara Aceh Sumatera, melindungi dan menjaga konstitusi Aceh Sumatera."

Sumpah pertama dilakukan terhadap Menteri Dalam Negeri dan Deputi Menteri Luar Negeri Dr Muchtar Hasbi. Lalu dilanjutkan berturut-turut terhadap Menteri Pendidikan dan Informasi Dr Husaini M Hasan, Menteri Kesehatan Dr Zaini Abdullah, Menteri Sosial yang merangkap Gubernur Provinsi Peureulak Dr Zubir Mahmud, Menteri Keuangan Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Menteri Pekerjaan Umum dan Industri Dr Teuku Asnawi Ali, Menteri Komunikasi Mr Amir Ishak dan Panglima Angkatan Bersenjata Muhammad Daud Husin alias Daud Paneuek.

Untuk memberkati acara pelantikan itu ditutup dengan doa yang dipimpin Menkeh Tengku Ilyas Leube. Lalu, bendera merah berlambang bulan bintang bergaris hitam di dua sisinya dikibarkan yang diiringi kumandang suara azan oleh seorang muazzin. Seluruh menteri, gubernur, dan anggota Komite Pusat NLF berdiri di belakang podium. Di depan mereka, berdiri pasukan dengan seragam lengkap. "Saya tidak pernah melihat orang-orang saya lengkap seperti ini sebelumnya. Saya sangat bangga kepada mereka," tulis Hasan Tiro.

Setelah pengibaran bendera, sejumlah tokoh menyampaikan pidato. Tampil pertama Tengku Ilyas Leube. Ia menyerukan agar rakyat Aceh bangkit sambil tak lupa meminta berkah dari para pendahulu yang telah mempertahankan tanah leluhur ini. Air mata setiap orang pun tak sanggup dibendung lagi. Semuanya menangis. Hasan Tiro tampil sebagai pembicara terakhir. Ia tak kuasa melihat kesungguhan pengikutnya. Air matanya tumpah. Ia tahu semua orang menangis ketika itu. Semuanya larut dalam tangis mengingat perjuangan yang masih sangat panjang. Dari lubuk hati Hasan Tiro yang paling dalam terbetik satu tanya, "Kapankah saya dapat memberikan senjata kepada orang-orang saya!".

(Bersambung)

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (2)

MALAM semakin gelap. Udara dingin menusuk setiap orang di bibir pantai Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie. Hari itu, Sabtu (30 Oktober 1976), Hasan Tiro mendarat di bumi Aceh setelah 25 tahun mengasingkan diri di Amerika Serikat (AS).

Dari pantai, malam itu juga, Hasan Tiro dan sejumlah pengikutnya menuju hutan. Tak ada istirahat! Enam jam kemudian atau pukul 07.00 WIB (Minggu 31 Oktober 1976) rombongan tiba di gunung Panton Weng. Tenda didirikan sebagai markas. Panton Weng tempat cocok bergerilya.

Satu bulan sudah Hasan Tiro berada di Panton Weng. Lalu, diputuskan untuk pindah ke kawasan Tiro. Ada kesedihan menerpa jiwa Hasan Tiro. Panton Weng adalah tempat yang sangat bersejarah. Itu markas gerilyawan sejak 100 tahun silam. Banyak pahlawan meninggal di tempat itu mempertahankan harkat dan martabat rakyat Aceh saat melawan Belanda. Orang-orang percaya di tempat itu "ada penjaganya" yaitu dua harimau.

Pergi ke kawasan Tiro dilakukan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Hasan Tiro mendapat laporan bahwa dengan banyaknya orang yang datang ke Panton Weng, semakin mencurigakan musuh. Kedua, kalau musuh menyerang, sangat sulit memasuki Tiro. Dan ketiga, paman Hasan Tiro, Tengku Tjhik Umar di Tiro mengirim komandan kepercayaannya, Geutjik Uma, untuk menjemput Hasan Tiro dan membawanya pulang ke Tiro.

Perjalanan dari Panton Weng ke kawasan Tiro dipandu Pawang Baka. Di bagian depan berjalan pawang, diikuti pengawal dan rombongan Hasan Tiro. Sedangkan di bagian belakang pengawal lagi. Sangat sulit menembus hutan yang penuh belukar. Perjalanan itu jangan sampai meninggalkan jejak bila suatu saat musuh datang. Butuh waktu empat hari untuk dapat sampai di kawasan Tiro. Itu merupakan ujian pertama kali bagi Hasan Tiro untuk membuktikan kekuatan fisiknya.

Pukul 17.00, perjalanan dihentikan untuk istirahat. Demi keamanan, tidak boleh ada yang menyalakan api. Untuk tempat tidur cukup dibentangkan plastik. Yang paling sulit dilakukan ketika melakukan perjalanan ke kawasan Tiro adalah harus mendaki gunung. Ada yang tak bisa dilupakan Hasan Tiro saat melintasi pegunungan. Kakinya tergelincir dan ia terjatuh. Untung Geuthjik Uma sangat tangkas. Ia berhasil menangkap Hasan Tiro sehingga tidak jatuh ke jurang. Saat itu terlintas dalam pikirannya masa-masa indah ia berjalan di Fifth Avenue, New York. "Apa yang saya lakukan di sini?" tanya Hasan Tiro pada dirinya sendiri. Waktu itu pukul 02.00 dinihari dan hujan. Semua basah. Ketika tiba di kawasan Tiro, Hasan Tiro dan pengikutnya terus mensosialisasi missinya. Di sini, ia masih berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Banyak tokoh masyarakat terutama dari Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur menemuinya. Setiap orang yang bertemu, Hasan Tiro selalu mendapat penghormatan. Tangannya dicium ketika berjabat.

Terakhir, Hasan Tiro bertahan di Gunung Tjokkan. Di sini, ia memutuskan memproklamirkan Aceh Merdeka, tepatnya 4 Desember 1976. Itu moment historis menandai sehari setelah mangkatnya Tengku Tjhik Maat di Tiro --pemimpin terakhir Aceh-- yang ditembak Belanda dalam pertempuran sengit di Alue Bhot, Tangse, pada 3 Desember 1911. Proklamasi sudah diumumkan kepada dunia. Hasan Tiro dan pengikutnya terus bergerilya di hutan.

PROKLAMASI kemerdekaan Aceh telah dikumandangkan kepada dunia di Bukit Tjokkan. Susunan kabinet yang terputus sejak tahun 1911, juga diumumkan pada hari proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pelantikan para menteri tertunda sampai semuanya datang ke Tiro untuk disumpah Wali Neugara Tengku Hasan Muhammad di Tiro.

Setelah diumumkannya proklamasi, utusan berbagai daerah datang siang dan malam ke markas Hasan Tiro untuk menyatakan dukungan. Bahkan, ada wakil datang dari luar Aceh.

Di pihak lain, operasi intelijen semakin gencar dilancarkan pemerintah terhadap kelompok Hasan Tiro. Tapi, setiap militer ingin melancarkan serangan, Hasan Tiro selalu menghindari dengan berpindah ke kamp yang banyak tersebar di hutan.

Pada 10 April 1977, Geutjhik Uma, komandan pasukan pengawal pribadi Hasan Tiro, yang meminta izin untuk menjenguk anak dan istrinya di Desa Blang Kedah, tak jauh dari markas, kembali ke kamp dengan wajah sedih. Hasan Tiro memintanya untuk menceritakan apa yang terjadi. Sesaat lengang. Geutjhik Uma hanya terdiam sambil menutup mukanya dengan dua telapak tangan. Sesuatu telah terjadi. Rumahnya, tadi malam, dikepung tentara.

"Geutjhik Uma, kami tahu Anda di dalam. Cepat keluar dan menyerah!" perintah dari kegelapan malam. Tak ada sahutan. Geutjhik Uma sangat terkejut karena dia tak menyangka tentara telah mengepung rumahnya.

"Geutjhik Uma, cepat keluar atau kami tembak semua yang ada dalam rumah!" terdengar lagi perintah. "Saya akan keluar dengan anak dan istri saya. Jangan tembak," jawab Geutjhik Uma dari dalam rumah.

Lalu, ia meminta anak-anak (keduanya wanita) dan istrinya agar keluar lebih dulu. Setelah keluarganya berada dalam posisi aman dan memastikan tidak diapa-apakan militer, Geutjhik Uma segera menerobos lewat pintu belakang sambil melepaskan tembakan ke arah lawan. Dia sangat yakin seorang musuh berhasil dilumpuhkan. Itu terbukti dari suara, "Ia menembak tangan saya! Dia menembak tangan saya! Toloong...!!"

Geutjhik Uma berhasil menerobos kegelapan malam. Butuh waktu lima jam untuk mencapai markas Hasan Tiro. Geutjhik Uma berhasil mengelabui dengan menghilangkan jejak dari para pengejarnya.

Usai bercerita insiden itu, Geutjhik Uma menangis. Hasan Tiro hanya bisa menghibur sambil memuji dengan kata-kata bahwa yang dilakukan pengawalnya sebagai tindakan yang benar. "Kalau tak ada anggota keluargamu yang cidera, tak perlu dikhawatirkan lagi. Semua beres. Yang kamu lakukan adalah tindakan benar. Ayo sana, makan dan istirahat," ujar Hasan Tiro kepada anak buah yang selalu setia mengawalnya.

Insiden di Blang Kedah itu berkembang cepat di tengah masyarakat. Bahkan, ada rumor yang menyebutkan telah terjadi pertempuran hebat antara tentara dengan gerilyawan Aceh Merdeka Pertempuran yang melibatkan tank. "Rumor menjadi bagian dari realita di tengah masyarakat," sebut Hasan Tiro dalam catatan hariannya. Demi alasan keamanan, pusat pergerakan Hasan Tiro dipindahkan ke tempat lain lagi.

Setelah mendapat laporan bahwa pemerintah Indonesia mulai mengampanyekan kepada masyarakat internasional kelompok Aceh Merdeka sebagai "teroris, bandit, fanatik", Hasan Tiro berusaha menerbitkan teks proklamasi dalam bahasa Inggris. Sebanyak mungkin terjemahan itu disebarkan ke seluruh Aceh dan bahkan ke luar negeri.

Setiap orang yang ditugasi menyebar informasi ke tengah masyarakat Aceh selalu mendapat pertanyaan dari rakyat, "Et na ka geutanyoe?" (Sampai di mana sudah perjuangan kita, red). Setiap hari bersejarah tentang kejayaan Aceh di masa silam tetap diperingati di hutan lewat upacara khusus dan khidmat. Misalnya, 23 April diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari itu diambil dari kemenangan rakyat Aceh dalam Perang Bandar Aceh ketika melawan Belanda. "Banyak generasi muda Aceh yang melupakan pertempuran hebat pada 1873 itu padahal pers dunia menurunkan kekalahan Belanda sebagai berita utama," tulis Hasan Tiro. Tahun 1977, Hari Pahlawan diperingati di kamp Krueng Agam. Perayaan dimulai dengan mengibar bendera Aceh yang diiringi suara azan.


Mendirikan Universitas Aceh

AWAL Juni 1977, pemerintah semakin meningkatkan perang psikologis untuk melawan Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera (NLFAS) dan pemimpinnya di tengah masyarakat. Sejumlah penangkapan terhadap para pengikut NLFAS dilancarkan. Menurut Hasan Tiro, ribuan orang, termasuk kaum wanita dan anak-anak, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa lewat proses pengadilan. Banyak tahanan yang disiksa.

NLFAS yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka dicap sebagai Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun Hasan Tiro seperti diakui dalam catatan hariannya yang tak selesai ini tidak merasa kecewa.

Satu kali, seorang komandan militer Indonesia, Kolonel Anang Sjamsudin, menantang komandan pasukan NLFAS, Daud Husin (tokoh yang lebih dikenal Daud Paneuek) untuk duel senjata. Tantangan itu disampaikan melalui selebaran. Daud Peneuek tak mau melayani. Bahkan ia menyarankan agar Anang kembali ke daerahnya.

Pemerintah terus melakukan perlawanan terhadap NLFAS. Foto-foto pemimpin gerakan itu -- Hasan Tiro, Dr Muchtar Hasbi, Daud Paneuek, Ir Asnawi, Ilyas Leube, Dr Zaini Abdullah, Dr Husaini Hasan, Amir Ishak, dan Dr Zubir Mahmud -- disebarkan ke penjuru Aceh. Masyarakat diminta menangkap hidup atau mati kesembilan tokoh itu. Tanggal 4 September 1977 merupakan hari ulang tahun ke-47 Hasan Tiro. Ia tak pernah berpikir bakal merayakannya dalam belantara di Kamp Alue Puasa. Hasan Tiro memikirkan tentang kejadian setahun silam ketika ia memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan meninggalkan anak dan istrinya di tengah kemegahan Kota New York. "Dapatkah saya katakan bahwa ini setahun dari kemajuan, atau frustrasi, atau kegagalan? Hanya sejarah yang dapat menjawabnya nanti," kata Hasan Tiro pada dirinya sendiri.

Pada 10 September 1977, diadakan sidang kabinet. Mereka memutuskan untuk mendirikan "Universitas Aceh" di pegunungan, tepatnya Gunung Alimon (Teupin Raya). Tujuannya melatih kader-kader masa depan. Diputuskan pula rektor pertama "Universitas Aceh" adalah Hasan Tiro. Ada beberapa fakultas yang dibuka. Di antaranya, Fakultas Kedokteran, Administrasi Masyarakat, Hukum, Hubungan Internasional, dan Akademi Militer. Kuliah pertama diselenggarakan pada 20 September 1977 yang diikuti sekitar 50 "mahasiswa". Mereka adalah 10 persen dokter, 10 persen insinyur, 15 persen ahli hukum, 40 persen guru, 20 persen lulusan SMA, dan 5 persen dari kalangan nelayan dan pendaki gunung. Mereka inilah yang akan menjadi kader NLFAS di masa mendatang. Kampus ini sangat terjaga. Hasan Tiro mengorganisir kuliah dalam tiga bagian: Hubungan Internasional, Politik, Perbandingan Pemerintahan, Sistem Ekonomi, dan Strategi Pembebasan Nasional. Hubungan internasional dibagi lagi dalam tiga bagian: hukum internasional, organisasi internasional (yang mencakup PBB dan bagian-bagiannya seperti Mahkamah Internasional, UNHCR, dan lain- lain), dan sejarah diplomatik. Politik mencakup soal pemikiran barat dan Islam.

Masalah perbandingan pemerintahan diajarkan tentang AS, Rusia, dan beberapa negara lain termasuk juga pemerintahan Aceh yang lebih dikenal "Kode Iskandar Muda". Hal itu untuk membuat mahasiswa mengerti akan bentuk-bentuk pemerintahan di dunia. Sistem ekonomi yang dipelajari adalah kapitalis, sosialis, dan Islam. Namun, untuk "negara Aceh" lebih difokuskan kepada ekonomi Islam. Mahasiswa harus mampu membedakan satu teori ekonomi dengan yang lain. Itulah sebabnya diajarkan berbagai bentuk sistem ekonomi.

Sedangkan strategi pembebasan nasional adalah berusaha mencarikan analisis untuk mendapatkan dukungan dari Hukum Internasional, Organisasi-organisasi Internasional. Karena tak memiliki buku-buku yang cukup di "Kampus Gunung Alimon", Hasan Tiro berusaha menguatkan memorinya tentang ilmu yang pernah ia pelajari di AS. Kuliah berlangsung setiap hari mulai pukul 8:00 hingga 12:00. Antara pukul 13:00 hingga 17:00. Mahasiswa kemudian membuat rangkuman. Pada malam hari, diadakan acara tanya-jawab untuk mendiskusikan bahan kuliah yang diberikan dan membahas tentang tugas-tugas.

Proses belajar mengajar bisa berlangsung selama tiga pekan tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Setelah berakhir, diadakan seminar. Saat wisuda diadakan pesta dengan makanan nasi ketan dan durian. Lalu, setiap mahasiswa mendapat sertifikat yang diserahkan Hasan Tiro sebab ia adalah rektor. Tentu saja ijazah yang diberikan kepada para lulusan tidak sama seperti yang diterima Hasan Tiro dari universitas di AS.

(Bersambung)

Hasan Tiro: Catatan Harian Yang Tak Selesai (1)

HARI itu, 4 September 1976. Satu pesawat meninggalkan New York, Amerika Serikat (AS). Seorang penumpangnya adalah Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Penerbangan itu menempuh rute Seattle - Tokyo - Hongkong, dan wilayah-wilayah Asia Selatan lainnya. Itulah perjalanan yang membawa Hasan Tiro pulang ke Aceh untuk mewujudkan impiannya, "Memimpin rakyat dan negara saya". Dalam pesawat, pikiran Hasan Tiro menerawang jauh. Namun, ia pun dapat melupakan semua kemewahan di tempat "pengasingan". Anak satu-satunya dan istri tercinta yang cantik jelita, dengan berat hati harus berpisah.

Meski pun berada dalam pengintaian pemerintah Indonesia, selama di AS, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis. Ia masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ia mengecualikan Indonesia. Ia menghindar berhubungan dengan Indonesia. Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS. Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan. Hasan Tiro punya hubungan kerjasama dengan beberapa perusahan itu.

Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.

Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu. Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi. Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro. Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya. Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.

Hasan Tiro tidak pernah mencampur urusan bisnis dengan politik. Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak pengusaha di pengasingan itu. Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera. Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka. Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.

Pesawat terus membawa Hasan Tiro semakin dekat dengan Aceh. Ia teringat mati ketika melongo ke bawah. Ia takut mati bukannya karena kehilangan nyawa, tapi belum melakukan sesuatu yang harus dilakukannya kepada tanah leluhur dan rakyatnya.

Lalu, pikirannya teringat akan musibah yang pernah dialaminya. Suatu ketika di puncak Pegunungan Rianier, jet berkapasitas empat orang mesinnya tiba-tiba mati mendadak. Hasan Tiro dan rekan bisnisnya, DC, duduk di depan. Di bagian belakang duduk VDL dan MP. DC adalah pemilik perusahaan pesawat terbesar di dunia kala itu. Ia juga mantan pilot yang sangat handal.

Tujuan perjalanan mereka adalah meneliti satu kawasan di Oregon.

Hasan Tiro berdoa kepada Allah agar ia dan tiga rekan bisnisnya selamat dari musibah. Ia bahkan bernazar. Jika selamat akan segera pulang ke Aceh sebelum 4 September 1976, bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-46. Hasan Tiro dan rekan-rekannya terlepas dari cengkeraman maut. Akibat insiden tersebut, mereka tak sempat mengikuti satu acara yang khusus dipersiapkan di sebuah hotel mewah di Seattle.

Nazar yang diucapkan Hasan Tiro tidak diurungkannya lagi. Namun yang sangat berat baginya untuk melaksanakan tugas "membebaskan Aceh dari penjajahan" adalah harus meninggalkan keluarganya. Ia harus meninggalkan bocah laki-lakinya semata wayang, Karim, yang saat itu baru berusia enam tahun. Ia juga terpaksa membiarkan istrinya, Dora, kesepian di tengah keramaian Kota New York.

Karim sangat berkesan bagi Hasan Tiro. Kemanapun dia pergi, Karim selalu dibawa. Karim mendapat tempat istimewa dalam unfinished diary. Bahkan, ketika Hasan Tiro sudah berada di Aceh, salah satu kamp di hutan dinamakan sebagai Karim.

Bocah Karim telah menunjukkan watak tertentu saat berusia empat dan lima tahun. Ceritanya, ketika Karim dibawa ke sebuah toko permen, segerombolan anak-anak mencoba mencuri permen. Penjaga toko tidak mengetahuinya. Hasan Tiro yang sedang melihat-lihat beragam permen berpikir untuk melakukan sesuatu. Tapi belum sempat ia berpikir, telah ada bunyi peluit. Gerombolan itupun lari pontang-panting. Saat menoleh ke arah bunyi tersebut, ia melihat Karim dengan sebuah peluit di tangannya. Wanita tua penjaga toko itupun berterima kasih pada Karim.

Di lain kesempatan, cerita Hasan Tiro, Karim diajaknya ke masjid untuk shalat Jumat. Karim selalu menjadi pandangan orang dan bahkan dipeluk para diplomat yang shalat di gedung PBB, New York. Diajaknya Karim shalat di tempat itu, untuk membuat dia mengerti akan perintah agama. Suatu ketika, Hasan Tiro sedang berjalan-jalan dengan Karim di Fifth Avenue, New York. Banyak orang yang mendekati bocah itu untuk sekedar berbicara atau memegang pipinya. Bila berjalan-jalan bersama Karim, Hasan Tiro merasa dirinya seperti mendampingi orang penting.

Karena putranya selalu menjadi perhatian para pejalan kaki lain. Di lain hari, Karim ditinggalkan ayahnya di lobi Hotel Plaza. Hasan Tiro pergi sebentar untuk menelepon seseorang. Belum selesai menelepon, ia melihat senator Eugene McCarthy, yang kemudian menjadi seorang calon Presiden AS, berbicara dengan Karim. Senator itu kemudian menghampiri Hasan Tiro untuk memberi pujian kepada Karim. "Saya harus menghampiri dan berjabat tangan dengan putra Anda, sebab ia terlihat tampan sekali!" kata senator itu seperti dikutip Hasan Tiro.

Mengenang itu semua, Hasan Tiro galau. Tapi, kini pesawat telah tiba di sebuah negara Asia, Hasan Tiro mengatur rencana agar dapat masuk ke Aceh. Selama beberapa pekan, ia memantapkan rencananya. Tepat 30 Oktober 1976, Hasan Tiro berhasil menyusup ke Aceh dengan sebuah kapal motor kecil. Ia mendarat dengan selamat di Pasi Lhok, Kembang Tanjong, Pidie.

(Bersambung)

Jejak Indatu Ureueng Aceh Dari Sumatera hingga Afrika

A. Di Sumatera dan Semenajung Melayu

Ceu atau tapal batas Aceh di Pondok Kelapa (patok mirah-pal merah) sekarang masuk Sumatera Utara, yaitu dekat kawasan Gudang KURNIA sekarang.

Sementara itu, menurut Hikayat Panglima Malem Dagang, batas Aceh sampai Sungai Kampar di Riau. Pada masa Belanda mendarat ke Sumatera Timur, berhasil direbut daerah taklukan Aceh sampai ke daerah Gebang. Pada masa itu Gubernur Sumatera Timur, Tuanku Hasyem Banta Muda, berhasil menghadang pasukan Belanda yang hendak ke Aceh. Makanya, daerah tersebut diberi nama Geubang (sekarang Gebang masuk wilayah Propinsi Sumatra Utara). Di situlah batas Aceh pada masa perang dengan Belanda di Sumatera Timur. Pada masa bergabung dengan Indonesia, batasnya dipindah lagi ke Langkat Teuming.

Tanjong Pura

Di sini juga pernah seorang Keuchik Nanggroe—Gubernur Aceh bertugas. Gubernur tersebut yang berasal dari Meureudu, Pidie, yang sampai sekarang masih ada keturunannya di Tanjung Pura.

Tanah Batak

Di Tanah Batak pernah ditugaskan seorang panglima Aceh, namanya Panglima Tgk Chik Mad Said, berasal dari Panton Labu, memerintah di sini. Tgk Chik Maad Said kemudian digelar Sisingamangaraja yang pertama. Beliua bukan orang batak, kuburannya sekarang dapat dilihat di Tomok Samosir. Panglima Tgk Chik Mad Asaid kala itu didampingi seorang wakil, yaitu Panglima Nyak Makam. Kuburan sang wakil ini ada di Brastagi. Namun, kemudian ada Sisingamaraja yang memerintah di Batak, yakni Sinsingamangaraja XII. Dia berasal dari keturunan Batak bermarga Sinambela, dan beragama Kristen. Tidak dijelaskan bagaimana tampuk kepemimpinan ini berpindah dari yang beragama Islam sampai ke Aceh.

Minangkabau

Di daerah ini pernah ditugaskan seorang panglima, yang bernama Panglima Nyak Gam. Sampai sekarang masih ada bukti sebuah daerah yang diberi nama Kabupaten Agam di wilayah Sumatera Barat ini. Di Kabupaten Agam inilah daerah kekuasaan Panglima Nyak Gam, masa itu. Negeri yang masuk kekuasaan beliau mulai dari Minangkabau sampai Bengkulu. Bukti sejarah, kuburan beliau terdapat di Bukittinggi. Wakilnya adalah Panglima Nyak Don, yang berasal dari Trieng Gadeng. Selain di Minangkabau, masih di wilayah Sumatera Barat, tepatnya di Pariaman, juga ada seorang keturunan Aceh, yang digelar Paderi. Paderi berasal dari sebutan Pidie. Di sana banyak keturunan ulama-ulama yang berasal dari Pidie yang dibawa pada masa Sultan Ali Mughayatsyah dalam misi pengembangan agama Islam ke daerah Minagkabau.

Bengkulu

Pernah ditugaskan seorang panglima sagoe di Bengkulu. Panglima sagoe tersebut bernama Teungku Panglima Nyak Ali (nan seutia), yang bersal dari Meuraksa, Ulee Lheue. Dia dimakamkan di Krui Bengkulu. Di daerah tersebut juga, sampai sekarang, masih banyak keturunan Panglima Nyak Ali. Menurut salah satu sumber sejarah, beliau itu merupakan Nek Tu-nya Cut Nyak Dhien.

Riau

Di daerah Melayu satu ini pernah bertugas seorang Chik Nanggroe—Gubernur asal Aceh. Dia bernama Tgk Panglima Japakeh Meureudu. Namun, dia meninggal karena ditikam dari belakang oleh tentara Sriwijaya. Mayatnya kemudian dibawa pulang ke Aceh dan disemanyamkan di Mesjid Madinah Meureudu, Pidie.

Malaysia (Malaya)

Di Malaya juga pernah bertugas seorang Chik Nanggroe—Gubernur Aceh, yang bernama Panglima Tgk Chik Muhammad. Dia memerintah mulai dari Temasik (Singapura), Johor, sampai daerah Genting Kra, perbatasan dengan Thailand (Siam). Bukti sejarah, kuburannya dapat dijumpai di Johor Baru, Malaysia.

B. Di Eropa hingga Afrika

Di belahan Eropa pernah bertugas perwakilan nanggroe (duta-Ambassador) dengan wakil dagang di Midleburg, Midelland. Di Negara Belanda, pada posisi waki nanggroe atau duta negara dimandatkan kepada Tgk Abdul Hamid Pangwa Meureudu, dengan beberapa orang wakil dagang serta staff wakil negara. Tgk Abdul Hamid ini meninggal dan semanyamkan di Pulo Midelland, Midelburg, Belanda. Kemudian, para waki lainnya yang masih hidup sepakat membeli tanah untuk didirikan gedung atau kantor duta negara dengan Waki Dagang yang kemudian dikenal dengan sebutan Perwakilan Dagang. Di halaman gedung itu dipancang Tiang Bendera Alam Peudeung Aceh. Pada Masa itulah, Bendera Alam Peudeung dikenal oleh dunia luar.

Duta yang didirikan di Belanda merupakan perwakilan untuk semua Negara Eropa, bukan untuk Belanda saja walaupun letaknya di Negara Belanda. Wakil atau duta negara yang masih hidup dan kembali ke Aceh, lalu wafat di tanah Aceh, kuburannya dapat dijumpai di Gampong Baro. Sayangnya, tidak ada upaya pemeliharaan dari pemerintah terhadap makam-makam tersebut, semua terbengkalai.

Turki

Di daerah ini pernah ditugaskan seorang Waki Nanggroe (Duta Negara) dan Waki Dagang (Perwakilan Dagang) beserta staffnya. Untuk duta di Negara Turki bernama Tgk. Abdul Jalil, yang bersal dari Panton Labu. Sekarang di negara tersebut ada empat kuburan yang sudah tidak jelas namamya lagi.

New Delhi India

Penah ditugaskan seorang Waki Nanggroe dan Waki Dagang. Namanya sudah tidak bisa dikenal lagi, di sana ada empat buah kuburan ureueng Aceh.

Canton dan Caulon China

Ada Waki Nanggroe dan Waki Dagang di daerah ini, namanya juga tidak diketahui lagi. Yang jelas, di Negara Cina, ada enam buah kuburan orang asal Aceh. (Keterangan dari warga Tionghoa di Peunayong).

Jeddah dan Makkah, Arab Saudi

Di daerah ini juga ada perwakilan dagang Aceh serta gedungnya. Terdapat dua buah kuburan, tetapi namanya sudah tidak bisa kenali (dibaca) lagi. Kemudian, di Makkah didirikan sebuah banguna Rumah Aceh sebagai tempat istirahat atau Rumah Singgah Jema’ah Haji dan orang yang sedang menuntut ilmu di tanah suci tersebut, tepatnya di samping Masjidil Haram. Namun, karena ada perluasan Masjidil Haram, sekarang rumah itu sudah dipindah dan diganti dengan banguna batu. (Menurut keterangan seorang kawan dari Peusangan, Matanggelumpangdua, Kabupaten Bireun, tanah dan bangunan itu diwakafkan oleh seorang habib dari Bugak, Peusangan, namanya Habib Bugak).

Isfahan (Iran)

Di daerah ini pernah didirikan Waki Dagang, namanya juga sudah tidak bisa diketahui lagi. Perlu penulurusan (transect walk) lagi untuk mengetahuinya.

Afrika

Di Iskandaiyah, Mesir, peranah juga ada Waki Dagang Aceh dan gedungnya, namun sayang namanya sudah kabur dan tidak bisa kenali lagi.

Maroko

Di sini juga pernah ada Waki Dagang Aceh, sayangnya untuk menelusuri namanya, juga sudah kabur.

Kongo

Di Kongo pernah didirikan Waki Dagang Aceh juga, sampai sekarang masih ada keturunanya di negara tersebut dan mereka masih fasih berbicara bahasa Aceh (keterangan Seorang Pasukan Garuda (TNI) yang pernah dikirim dalam misi perdamaian di Kongo).

Angola, Afrika Selatan

Di tengah-tengah rute dagang Asia-Eropa, dalam masa orang Aceh berniaga, sering kali mereka beristirahat dan mendirikan sebuah rumah singgah (balee). Demikian halnya di Angola, juga tedapat balee Aceh. Tempat itu kemudian menjadi ramai dan menjadi pusat perdangangan, namanya Kuala Balee. Sampai sekarang tempat tersebut masih disebut Kuala Balee oleh orang-orang Angola.

oleh Zulfadli Kawom. Bergiat di JKMA Pasee.

Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi VII, Desember 2008
 

Nama-nama Bupati Pidie Dari Masa ke masa

1 T. CHIK MAD SAYED 1945 - 1946
2 Tgk. ABDUL WAHAB SEULIMUM 1946 - 1949
3 Tgk. SULAIMAN DAUD 1949 - 1952
4 T. A. HASAN 1952 - 1953
5 M. SALEM HASYEM 1953 - 1954
6 MOHD.ALI,T. PANGLIMA POLEM 1954 - 1955
7 YUHANA DATUK NAN LABIH 1955 - 1956
8 Tgk. USMAN AZIZ 1956 - 1960
9 Tgk. IBRAHIM ABDUH 1960 - 1965
10 Letkol. ABDULLAH BENSEH 1965 - 1967
11 M. HUSEN 1967 - 1968
12 Letkol. ABDULLAH BENSEH 1968 - 1970
13 HASBI USMAN 1970 - 1970
14 MAHYUDDIN HASYEM 1970 - 1974
15 T. SULAIMAN EFENDI 1974 - 1975
16 Letkol. SAYED ZAKARIA 1975 - 1980
17 Drs. NURDIN ABDUL RACHMAN 1980 - 1985
18 Drs. NURNIN ABDUL RACHMAN 1985 - 1990
19 Drs. H. M. DIAH IBRAHIM 1990 -1995
20 Drs. H. M. DJAKFAR ISMAIL 1995 - 2000
21 Ir. H. ABDULLAH YAHYA, MS 2000 - 2007
22 Drs. H. SAIFUDDIN, AR, SMPh,M.Kes (Plt) 2007 - 2007
23 H. MIRZA ISMAIL, S.Sos 2007 - 2012
24 Drs. H. T. ANWAR, ZA, MSi (Plt) 2012 - 2012
25 Tgk. SARJANI ABDULLAH 2012 - 2017

Daftar Nama Gubernur Aceh dari tahun ke tahun :

1. Teuku Nyak Arief (1945-1946)
2. Teuku Daud Syah (1947-1948)
3. Tgk. Daud Beureueh (1948-1951)
4. Danu Broto (1951-1952)
5. Teuku Sulaiman Daud (1952-1953)
6. Abdul Wahab (1953-1955)
7. Abdul Razak (1955-1956)
8. Ali Hasjmy (1957-1964)
9. Nyak Adam Kamil (1964-1966)
10. H. Hasbi Wahidi (1966-1967)
11. A. Muzakkir Walad (1967-1978)
12. Prof. Dr. A. Madjid Ibrahim (1978-1981)
13. Eddy Sabhara (Pjs) (1981)
14. H. Hadi Thayeb (1981-1986)
15. Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1986-1993)
16. Prof. Dr. Syamsudin Mahmud (1993-21 Juni 2000)
17. Ramli Ridwan (Pj. 21 Juni 2000-November 2000)
18. Abdullah Puteh November (2000-19 Juli 2004)
19. Azwar Abubakar (Pj. 19 Juli 2004-30 Desember 2005)
20. Mustafa Abubakar (Pj. 30 Desember 2005-Februari 2007)
21. Drh. Irwandi Yusuf (8 Februari 2007-8 Februari 2012)
22. Tarmizi Abdul Karim (8 Februari 2012 - 25 Juni 2012)
23. Zaini Abdullah 25 Juni 2012 sampai Sekarang

Raja raja kerajaan aceh darussalam

sultan alaidin ali mughayat syah 916-936 H (1511 - 1530 M)

sultan salahuddin 939-945 H (1530 - 1539M)

sultan alaidin riayat syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 - 979 H (1539 - 1571M)

sultan husain alaidin riayat syah III, 979 - 987 H (1571 - 1579 M)

sultan muda bin husain syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari

sultan mughal seri alam pariaman syah,987 H (1579M) selama 20 hari

sultan zainal abidin, 987 - 988 H (1579 - 1580 M)

sultan aialidin mansyur syah, 989 -995H (1581 -1587M)

sultan mugyat bujang, 995 - 997 H (1587 - 1589M)

sultan alaidin riayat syah IV, 997 - 1011 H (1589 - 1604M)

sultan muda ali riayat syah V 1011 - 1015 H (1604 - 1607M)

sultan iskandar muda dharma wangsa perkasa alam syah 1016 - 1045H (1607 - 1636M)

sultan mughayat syah iskandar sani,1045 - 1050 H (1636 - 1641M)

sultanah sri ratu tajul alam safiatuddin johan berdaulat, 1050-1086H (1641 - 1671M)

sultanah sri ratu nurul alam naqiatuddin (anak angkat safiatuddin), 1086 - 1088 H (1675-1678 M)

sultanah sri ratu zakiatuddin inayat syah (putri dari naqiatuddin) 1088 - 1098 H (1678 - 1688M)

sultanah sri ratu kemalat syah (anak angkat safiatuddin) 1098 - 1109 H (1688 - 1699M)

sultan badrul alam syarif hasyim jamalul lail 1110 - 1113 H (1699 - 1702M)

sultan perkasa alam syarif lamtoi bin syarif ibrahim. 1113 - 1115H (1702 -1703 M)

sultan jamalul alam badrul munir bin syarif hasyim 1115 - 1139 H (1703 - 1726M)

sultan jauharul alam imaduddin,1139H (1729M)

sultan syamsul alam wandi teubeueng

sultan alaidin maharaja lila ahmad syah 1139 - 1147H (1727 - 1735H)

sultan alaidin johan syah 1147 - 1174 (1735-1760M)

sultan alaidin mahmud syah 1174 -1195 H (1760 - 1781M)

sultan alaidin muhammad syah 1195 -1209 H (1781 - 1795M)

sultan husain alaidin jauharul alamsyah,1209 -1238 H (1795-1823M)

sultan alaidin muhammad daud syah 1238 - 1251 H (1823 - 1836M)

sultan sulaiman ali alaidin iskandar syah 1251-1286 H (1836 - 1870 M)

sultan alaidin mahmud syah 1286 - 1290 H (1870 - 1874M)

sultan alaidin muhammad daud syah, 1290 -.....H (1884 -1903 M)

sultan alaiddin muhammad daud syah adalah sultan terakhir dari kerajaan aceh darussalam, beliau berjuang dan bergerilya selama 29 tahun dan beliau tidak pernah menyerahkan kedaulatan negaranya kepada pihak belanda.

pada tahun 1903 beliau ditangkap oleh belanda dan diasingkan ke ambon, maluku dan terakhir dipindahkan ke jawa. beliau mangkat dijakarta pada tahun 1939.

nah ini lah silsilah pemimpin kerajaan aceh yang disadur dari buku tawarikh raja- raja kerajaan aceh. oleh Tgk M Yunus Jamil..

perpisahan hai


Wahai Garudaku Turunlah

PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.

Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.

Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.

Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.

Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.
 Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.

Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.

Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.

Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.

Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh.

Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu. Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu.


Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN “kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.

Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu” Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”.

Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali;

Setelah Seulawah Aceh milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada “burung besi”; Garuda, turunlah!

Foto Kenangan Tgk Hasan Tiro